Pembagian Dapil Pemilu 2024 yang Bikin Ngilu KPU

Pembagian Dapil Pemilu 2024
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Tanggal 7 Pebruari 2023 yang lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang daerah pemilihan (Dapil) dan alokasi kursi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota.

Terbitnya PKPU tersebut merupakan tindaklanjut dari adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagaimana diketahui melalui putusan nomor 80/PUU-XX/2022, MK memutuskan untuk memberi KPU kewenangan menata ulang dapil DPR RI dan DPRD provinsi, dari yang semula merupakan kewenangan DPR lewat Lampiran III dan IV Undang Undang  Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam keputusannya, MK menyatakan Lampiran III dan IV itu inkonstitusional karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip penataan dapil yang baik serta kontradiktif dengan ketentuan penyusunan dapil alias tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Sehingga MK memerintahkan KPU untuk penataan ulang dapil untuk Pemilu 2024 dan pemilu seterusnya melalui Peraturan KPU.

Mengapa penataan Dapil yang ada sekarang ini (sebagaimana terdapat di lampiran III dan IV UU Pemilu No. 7/2017), dinilai MK tidak sesuai dengan prinsip prinsip pembentukan Dapil sehingga harus ditata ulang keberadaannya ?.

Mengapa pula KPU  dinilai tidak menjalankan secara substansial perintah MK agar menata ulang Dapil yang sekarang sudah menjadi kewenangannya ? Lalu apa konsekuensinya yang mungkin terjadi pada pemilu 2024 nantinya ?

Prinsip Pembentukan Dapil

Daerah Pemilihan atau Dapil merupakan salah satu dari tiga komponen utama dari sistem pemilu selain dari elektoral formula dan metode pemberian suara (Douglas W Rae, 1967). Untuk itulah terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam membentuk dapil.

Menurut Thomas L Brunell (2008) menyebutkan prinsip pembentukan Dapil  tersebut adalah; (1) dapil haruslah daerah yang saling berdampingan (contiguous); (2) kesetaraan nilai penduduk atau populasi sehingga harga kursi untuk setiap dapil setara dengan dapil lainnya; (3) memperhatikan kepentingan komunitas, dalam hal ini dapil harus memperhatikan kesamaan kondisi sosial warga di dapil; (4) memperhatikan pembagian-pembagian administrasi dan politik; (5) dapil haruslah padat (compact).

Sejalan dengan itu, Pasal 185 UU 7/2017 juga mengatur 7 prinsip penyusunan dapil. Ketujuh prinsip ini menjadi hal yang kumulatif yang mesti dipenuhi dalam menyusun dapil dan alokasi kursi. Ketujuh prinsip tersebut adalah; (1) kesetaraan nilai suara; (2) ketaatan pada sistem peimlu yang proporsional; (3) proporsionalitas; (4) integralitas wilayah; (5) berada dalam cakupan wilayah yang sama; (6) kohesivitas; dan (7) kesinambungan.

Meskipun sudah ada ketentuan yang mengaturnya, tetapi nyatanya pembentukan Dapil Pemilu yang dilakukan selama ini dinilai belum mampu memastikan bahwa penyusunan dapil dan alokasi kursi untuk Pemilu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota telah memenuhi prinsip-prinsip yang telah diatur dalam ketentuan tersebut.

Disinyalir terdapat pertentangan antara prinsip penyusunan dapil dengan lampiran Dapil yang ada di dalam UU 7/2017. Mengutip pernyataan Khoirunnisa Nur Agustiyati dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), pertentangan itu paling tidak bisa dilihat pada pada lima prinsip utama yakni; kesetaraan nilai suara, ketataatan pada sistem pemilu yang proporsional, proporsionalitas, integralitas wilayah, dan berada dalam cakupan wilayah yang sama.

Misalnya, terdapat beberapa wilayah yang dipaksakan digabung dalam satu dapil tanpa memperhatikan latar belakang sosiologis wilayah itu yang berbeda, seperti Dapil Jawa Barat III yang menggabungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur, kendati karakteristik kedua wilayah berlainan dan disekat oleh wilayah Kabupaten Bogor.

Di samping itu, terdapat dapil yang bermasalah dari segi keberimbangan/proporsionalitas jumlah penduduk dengan alokasi kursi parlemen. Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Lampung Jawa Timur, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Papua dinilai kelebihan alokasi kursi (over-represented) berdasarkan data sensus penduduk 2020.

Hasil Pemilu DPR 2019 pun membuktikan bahwa desain dapil yang digunakan masih menyisakan ketidaksetaraan harga kursi. Dapil Jawa Timur XI, misalnya, butuh 212.081 suara untuk memenangkan 1 kursi di DPR RI. Sementara itu, di Kalimantan Utara, 1 kursi Senayan sudah bisa dimenangkan dengan 37.616 suara saja.

Karena adanya dugaan munculnya pertentangan tersebut pada akhirnya Perludem mengajukan gugatan ke MK untuk menguji UU No. 7/2017 khususnya Pasal 185. Berdasarkan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Perludem tersebut, MK sesuai Putusan MK 80/2022, menimbang sejumlah pertimbangan hukum dalam memutus permohonannya.

Pertama, MK menegaskan kembali terkait dengan “prinsip” pembentukan dapil seperti yang tercantum dalam Pasal 185 UU 7/2017. Bahwa adanya tujuh prinsip penyusunan dapil dimaksudkan untuk memperkuat asas-asas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sehingga prinsip ini harus diterapkan dalam menyusun dapil mulai dari dapil DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Kedua, MK menegaskan kembali bahwa rangkaian kontestasi pemilu harus tunduk pada tahapan pemilu seperti yang tercantum dalam Pasal 164 ayat (4). Penetapan kursi dan penyusunan dapil harus lah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam tahapan pemilu. Sehingga seharusnya tidak dibedakan antara penyusunan dapil untuk DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kesemua tahapan penyusunan dapil ini seharusnya menjadi bagian tahapan pemilu yang merupakan kewenangan dari KPU. Sehingga jika dapil untuk DPR dan DRPD provinsi menjadi lampiran undang-undang, artinya adanya pengambilalihan kewenangan KPU secara signifikan.

Ketiga, MK menegaskan mengenai kepastian hukum dalam penyusunan dapil. Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mencakup kejelasan pengaturan yang tidak multitafsir, tidak bertentangan, dan juga mampu menjamin tidak adanya konflik kepentingan. Penyusunan dapil DPR dan DPRD Provinsi yang sudah menjadi bagian dari lampiran undang-undang pemilu menunjukan adanya potensi konflik kepentingan karena dapil yang merupakan arena kompetisi dalam pemilu disusun oleh pihak yang akan berkompetisi, yaitu partai politik.

Keempat, perkembangan penetapan kursi dan dapil. Sejak Pemilu 1999-2004 penetapan alokasi kursi dan penyusunan dapil dilakukan sepenuhnya oleh KPU. Sejak Pemilu 2009-2014, kewenangan KPU dalam menyusun alokasi kursi dan dapil berkurang menjadi hanya untuk Pemilu DPRD Provinsi dan Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja.

Bahkan, di Pemilu 2019 KPU hanya diberikan kewenangan untuk menata kursi dan dapil untuk Pemilu DPRD Kabupaten/Kota saja. Sejak Pemilu 2009 ketika alokasi kursi dan dapil menjadi lampiran undang-undang pemilu, belum pernah dilakukan evaluasi kecuali jika ada pemekaran yang diiringi dengan penambahan jumlah kursi dan dapil.

Kelima, lampiran dapil dalam UU 7/2017 tidak sejalan dengan prinsip pembentukan dapil yang dicantumkan dalam Pasal 185. Hal ini karena telah terjadi ketimpangan harga suara yang signifikan antardapil, disproporsionalitas, dan terdapat dapil yang tidak integral.

Keenam, jumlah penduduk dan eksistensi daerah otonom menjadi faktor yang menentukan dapil. Beasaran alokasi kursi dan dapil sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan wilayah. Jumlah penduduk bersifat dinamis, sehingga pencantuman dapil dalam lampiran undang-undang pemilu akan menimbulkan ketidakpastian, karena bisa jadi suatu daerah mengalami pertambahan atau pengurangan jumlah penduduk yang dapat mempengaruhi peta dapil.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *