Apa itu Dzu Al-Qarnain dalam Surah Al-Kahfi

Memenangkan Hati Rakyat
Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Hasanuddin (Ketua Umum PBHMI 2003-2005), Redaktur Pelaksana Hajinews.id

Hajinews.id – Dalam alam pikiran muslim di tanah air, tatkala membaca surah Al-Kahfi pada ayat-ayat yang membicarakan tentang dzu Al-Qarnain umumnya menganggap bahwa kata tersebut adalah nama figur tertentu. Jika kita membaca kitab-kitab tafsir, tidaklah demikian. Dzu Al-Qarnain adalah nama julukan, bukan nama sosok figur tertentu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Nama julukan Dzu Al-Qarnain berarti “manusia bertanduk dua”. Atau “manusia dua zaman”, karena nomina qarn dapat berarti “tanduk” maupun “generasi”, “zaman”, “masa”, atau “abad”. Para Mufassir klasik cenderung pada makna yang pertama “bertanduk dua”, dan dalam hal ini agaknya mereka telah dipengaruhi oleh tamsil timur tengah kuno tentang “tanduk” sebagai simbol kekuasaan dan kehebatan, meskipun Al-Qur’an sendiri tidak memberikan pembenaran atas penafsiran seperti itu.

Pada kenyataannya, selain dalam bentuk Dzu Al-Qarnain yang terdapat pada surah Al-Kahfi ayat 83, 86, dan 94, kata qarn (bentuk jamaknya qurun) muncul di dalam Al-Qur’an sebanyak dua puluh kali, ia mengandung makna “satu generasi” dalam pengertian “masyarakat dari suatu zaman atau peradaban tertentu”. Meskipun demikian alegori tentang Dzu Al-Qarnain ini dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai kualitas-kualitas seorang penguasa yang adil saat berkuasa, bisa saja kita beranggapan bahwa penamaan ini adalah pantulan dari simbolisme kuno yang telah disebut diatas, yang karena sudah terdengar akrab di kalangan masyarakat Arab sejak dahulu (kisah ini), telah masuk dalam kategori idiom bahasa Arab sebelum datangnya Islam (pra-Kenabian Muhammad).

Dalam konteks alegori Al-Qur’an “dua tanduk” dapat dipahami sebagai dua sumber kekuatan yang telah dianugerahkan kepada Dzu Al-Qarnain yakni kekuasaan dan prestise duniawi berupa kerajaan serta kekuatan spritual yang lahir dari keimanannya kepada Allah. Hal yang terakhir ini teramat sangat penting karena persis penekanan Al-Qur’an pada keimanannya kepada Allah itulah yang membuat mustahil untuk menyamakan Dzu Al-Qarnain, dengan Alexander The Great atau Iskandar Yang Agung (yang digambarkan dalam beberapa koinnya dengan dua tanduk di kepala), atau dengan salah seorang raja dari raja-raja Himyar dari Yaman pada masa sebelum Islam. Semua tokoh prasejarah itu adalah penganut berhala (pagan) dan mereka bisa menyembah banyak dewa, sedangkan Dzu Al-Qarnain digambarkan sebagai orang yang beriman kepada Allah yang Maha Esa bahkan, justru aspek kepribadiannya yang inilah yang memberi alasan paling mendasar bagi dikemukakannya alegori Al-Qur’an tersebut. Karena itu, kita harus menyimpulkan bahwa alegori tentang Dzu Al-Qarnain tidak ada kaitannya dengan sejarah atau bahkan legenda, dan bahwa maksud dari alegori itu semata-mata sebagai suatu wacana yang bersifat perumpamaan tentang iman dan moral, dengan secara khusus mengacu kepada masalah kekuasaan duniawi. Penjelasan diatas disampaikan dalam Tafsir The Message Qur’an dari Muhammad Asad.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka julukan dzu al-qarnain dengan aman, bisa dipahami bahwa gelar tersebut bisa diberikan kepada siapa pun yang dalam menjalankan pemerintahannya memadukan dua kekuatan, yakni kekuatan ilmu pengetahuan (science) dan kekuatan spritualitas (agama). Dari sini dapat kita memahami bahwa ajaran Islam dalam hal ini Al-Qur’an tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan science maupun agama. Atau dengan bahasa lain, Al-Qur’an tidak menganut sekularisme science dan spritualitas. Tentu saja arus science dan agama/spritualitas itu berbeda dan dapat dibedakan, namun dalam implementasinya dalam sistem pemerintahan masing-masing memiliki peran dan fungsinya dimana peran keduanya saling melengkapi satu sama lain. Sebab itu, bukan sesuatu yang bijaksana, atau berbahaya jika terjadi ketimpangan diantara keduanya, apalagi jika saling menegasikan.

Islam di Indonesia tentu saja agama yang paling besar memberi pengaruh terhadap jalannya warna kekuasaan dan atau pemerintahan, dan oleh karena itu pandangan yang mengarah kepada islamophobia tentu amat berbahaya bagi jalannya pemerintahan. Pandangan islamophobia sebab itu mesti dihentikan, di eliminir karena bisa merusak keseimbangan tata nilai dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping bahwa secara ortodoks pandangan islamophobia itu melawan Pancasila dan UUD 1945 yang memberi isyarat bagi keseimbangan tata nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana sumber tata nilai itu berakar kuat dalam sistem kepercayaan yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Semoga catatan ini bisa menjadi bahan pemikiran bagi kita semua, untuk melakukan tata kelola sistem pemerintahan yang lebih baik pada masa-masa yang akan datang.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *