Berpolitik Untuk Menyempurnakan Tujuh Kewajiban Kepada Al-Qur’an

Berpolitik Menyempurnakan Kewajiban Kepada Al-Qur’an
Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si., Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ, Jakarta.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. Mohammad Nasih, M.Si.Pengasuh Pesantren-Sekolah Alam Planet NUFO, Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang; Pengajar Ilmu Politik FISIP UMJ, Jakarta.

Hajinews.id – Tujuh kewajiban kepada al-Qur’an yang diurutkan mulai dari membaca, mengartikan, menghafalkan, merenungkan, mengerjakan, mengajarkan, sampai memperjuangkannya adalah di antara pemikiran genuine Pengasuh Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon atau yang lebih dikenal dengan Planet NUFO, Mlagen, Pamotan, Rembang Dr. Mohammad Nasih, M.Si.. Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur’an Monasmuda Institute Semarang yang juga pengajar di Pascasarjana ilmu politik UI dan FISIP UMJ ini memiliki pemahaman keislaman dan kebangsaan yang saling mengisi. Keduanya dianggap memiliki hubungan mutualistik alias saling memberi makan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dari perspektif itulah, suami dr. Oky Rahma Prihandani, Sp.A., M.Si.Med itu memberikan motto berilmu, berharta, dan berkuasa di dua pesantren yang didirikannya, baik Monasmuda Institute maupun Planet NUFO. Dan karena ingin memberikan contoh kepada para santri-muridnya, pria yang akrab disapa oleh santri-muridnya dengan Abah Nasih atau Abana ini juga terjun ke dalam partai politik dan tidak pernah menyembunyikan statusnya. Tak jarang ia menyebut Partai Amanat Nasional (PAN) secara terang-terangan. Bagi ayah lima anak ini, politik adalah kewajiban puncak sebagai seorang muslim. Memperjuangkan al-Qur’an hanya bisa dilakukan secara paripurna apabila menggunakan struktur politik. Sebab, dengan kekuasaan, yang bisa dilakukan tidak hanya amar ma’ruf, tetapi juga nahy munkar.

Bagaimana pandangan utuhnya tentang ini? Baladena.id melakukan wawancara eksklusif dengan Abana, dan berikut ini petikannya:

Baladena: “Biasanya ustadz atau kiai lebih memilih tidak menampakkan afiliasinya dengan partai politik atau menegaskan diri netral. Tetapi kenapa Abah Nasih kok sepertinya malah sebaliknya?”

Abana: “Pertama, biasanya bukan berarti benar. Kita ini sering menganggap benar yang biasanya. Sebaliknya menganggap yang tidak biasanya sebagai tidak benar. Ini tidak benar. Padahal benar salah tidak ditentukan oleh jumlah orang yang mempercayainya dan membiasakannya. Bumi bulat atau datar, tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang mempercayainya. Kedua, biasanya kan bukan berarti tidak ada kan? Mau saya tunjukkan? Mbah Maimun Zubair itu kiai. Tapi tidak kehilangan kekiaiannya hanya karena beliau menjadi elite PPP. Ini hanya salah satu contoh saja. Gus Dur malah pendiri PKB. Sekali lagi, memang jumlahnya tidak banyak. Dan yang memilih netral itu sebenarnya bukan berarti tidak berpolitik. Hanya saja gayanya berbeda. Pilihan jalannya lain. Anda belum tahu saja. Ini mesti hati-hati kita. Saya ngomong blak-blakan saja, sebagian netral karena memang mau mengayomi semua kalangan. Tapi jangan tidak jeli juga, bahwa ada mengatakan netral agar ‘dianggap’ bersama semua kalangan, sehingga ‘pasarnya’ menjadi lebih luas.”

Baladena: “Maksudnya bagaimana?”

Abana: “Ya sudah, begitu saja. Tidak usah saya katakan terlalu vulgar.”

Baladena: “Apakah Abah Nasih tidak khawatir ditinggalkan oleh santri, atau tepatkan para orang tua santri, dengan berafiliasi kepada salah satu partai? Kalau tidak bergabung dengan partai, kan jadi tidak tersekat.”

Abana: “Nah, itu tadi yang saya sebut. Pertanyaan anda inilah yang menjadi latar belakang sebagian elite agama  menyatakan diri netral. Padahal dalam kenyataannya tidak juga. Saya ingin memberikan uraian tentang pilihan sikap politik saya ini. Pertama, saya ini mengajar sudah sejak kelas V MI. Tentu saja yang ini mengajar level amatiran. Mengajar membaca al-Qur’an anak-anak tetangga saya di mushalla depan rumah saya. Santri bapak dan ibu saya di kampung kan lumayan banyak. Saya bagian ngajarin mereka yang baru mengeja dengan Irqa’ atau Qira’ati. Bapak dan Ibu saya menyimak yang sudah bisa baca al-Qur’an dengan relatif lancar. Kedua, saya ini aktivis mahasiswa, menjadi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sampai PB HMI. Teman saya dari berbagai macam latar belakang, beragam firqah, bermacam madzhab, juga yang tidak bermadzhab, bermacam ormas, dan juga beragam orpol. Saya dan teman-teman saya yang bermacam ragam itu ketemu dan diskusi biasa saja. Kami seperti saudara yang punya rumah yang berbeda-beda, tapi saling kunjung, sapa, bantu, dan kadang juga debat keras kami lakukan. Asuh, asih, dan juga asah. Sesuai dengan keperluan dan dinamika yang berkembang saja”.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *