Ini tidak berarti bahwa cahaya ilmu hanya mungkin diberikan dengan cara seperti itu. Allah Maha Rahman, dan sifat Rahman Allah meliputi seluruh manusia dan makhluk. Tetapi manusia modern dalam mendapatkan ilmu mengabaikan naturalitas seperti itu, dan akal ditekankan begitu eksklusif. Tuhan disingkirkan, akal didewakan. Hasilnya adalah: ilmu dengan karakter eksploitatif, baik terhadap alam maupun manusia. Ilmu kehilangan dimensi aksiologinya, atau unsur “huda” , yakni petunjuk keselamatan.
Dalam Islam ditegaskan bahwa “al-ilmu nurun, wa nurun minaAllah”, ilmu adalah cahaya, dan cahaya adalah dari Allah. Seperti itulah para ulama atau ilmuwan muslim abad pertengahan menghasilkan temuan-temuan ilmiah yang menakjubkan, seperti Ibnu Sina di bidang kedokteran, Al-Khawarizmi di bidang matematika, dan lain sebagainya di berbagai bidang.
Sementara, cara dominan budaya berfikir kita selama ini diajarkan di institusi pendidikan modern dan media, bukan di tempat ibadah. Mungkin ini membawa konsekuensi sendiri. Namun puasa dan ibadah lainnya, jika kita dapat menjalankan secara intens dan penuh takwa —melalui hidayah yang terpancar— adalah cara Islam membentuk kecerdasan inteligensia agar memiliki kualitas ilahiyah.**
Semoga Bermanfaat