Menurut penulisnya, ini bukan sesuatu yang aneh, karena fondasi moral yang sudah terbentuk secara alami pada masyarakat dipegang secara berbeda oleh kelompok-kelompok masyarakat tersebut. Saya tertegun bahwa mungkin itulah yang membuat mengapa perbedaan itu bila terjadi cenderung semakin membesar, baik dalam tradisi berpolitik, maupun beragama.
Karena dalam tradisi masyarakat kita, lebih banyak tergerak untuk menguliti dan melihat secara hitam putih standar moral sebuah kelompok, bukan bertanya secara reflektif mengapa berada pada keyakinan standar moral tertentu, bukan lainnya. Mengapa sebuah kelompok lebih tertarik kepada fondasi moral yang bernuansa keadilan, bukan pada kerukunan.
Mungkin sama dalam tren berkomunitas masyarakat modern saat ini. Mengapa orang yang satu, menjadi anggota pejalan kaki, sementara yang satunya menjadi anggota pesepeda. Apakah harus berbeda? Pendekatan yang disodorkan oleh Jonatahn Heidth pada kesimpulannya adalah moral empati menjadi penentu untuk mencari titik temu. Mungkin keduanya perlu duduk bersama, untuk saling mendengar bahwa ternyata keduanya menyukai renang. Pada komunitas itulah mereka bertemu.
Meskipun Jonathan Haidt tidak menggunakan perspektif agama tertentu, namun saya ingin mengatakan bahwa bahasa emosi atau intuisi yang didahulukan dibanding nalar, sebenarnya itu tidak selengkap dengan ajaran agama tentang “fitrah” manusia. Manusia dilahirkan untuk bergerak pada titik nol kehidupan, kesucian diri, meskipun sekecil apapun dalam hati. Fitrah itu yang bisa mengarahkan seluruh potensi kemanusian kita yang mengkombinasikan hati (rasa) dan akal (rasio) untuk membangun masyarakat yang berspektif empatik. Itulah, dengan momentum Ramadan ini, saatnya kembali ke fitrah.