Peneliti BRIN Minta Maaf, Ketum Muhammadiyah: Permintaan Maaf yang Tulus Bukan dengan Pembelaan

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir angkat bicara terkait dengan pernyataan maaf yang disampaikan oleh Peneliti BRIN, terkait kasus ujaran kebencian.

Prof Thomas Djamaluddin dan Andi Pangerang Hasanuddin, dua peneliti BRIN sebelumnya telah meminta maaf secara lesan kepada Muhammadiyah.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menurut Haedar, belajar dari kasus itu, permintaan maaf yang tulus disampaikan bukan dengan kata-kata pembelaan atau pengakuan kesalahan.

Karena egonya selalu merasa benar, alih-alih mengakui kesalahannya, orang itu malah ngeles, merasa tidak bersalah. Dalam ilmu logika, perilaku tersebut merupakan logical post factum.

“Logical post factum itu mencari pembenaran atas langkah yang salah. Bahkan dalam teori filsafat disebut dengan falsifikasi,” ujarnya, dikutip dari laman Muhammadiyah.

“Falsifikasi itu mencoba mencari berbagai rangkaian narasi untuk membenarkan kesalahan-kesalahan,” imbuh Haedar.

Sebagai muslim yang bertakwa, harus mudah memberikan maaf. Meski kesalahan itu disengaja dan dilakukan berulang-ulang maka maaf tetap diberikan, karena itu urusan rohani.

Tetapi kalau keadaan menghendaki ada proses untuk tindakan hukum dan lain sebagainya, itu tetap baik.

“Kalau ada orang bikin onar di tatanan masyarakat yang tertib, ada wilayah sosial dan moral, ada wilayah hukum dan tertib sosial. Wilayah sosial dan moral bisa saling memaafkan, wilayah tertib sosial dan hukum itu ada wilayahnya sendiri. Semuanya punya proporsinya,” kata dia.

Dia tidak memungkiri sebagai manusia normal, emosi merupakan sebuah keniscayaan.

Maka dari itu diperlukan yang diperlukan cara bagaimana untuk mengendalikan emosi.

Sampai ada ilmuwan yang tidak dapat menahan emosinya dan mengeluarkan ancaman, kata-kata dan berbagai hal sebagai pelampiasan atas emosi yang dia miliki.

“Ini yang biasa saya sebut ilmunya tidak menyinari kalbunya. Tidak menyinari atau mencerahkan akal budinya,” kata Haedar.

Menahan marah ini juga sebagai salah satu ciri takwa yang disebutkan dalam Al Qur’an.

Merujuk kata-kata mutiara Jalaludin Rumi, Haedar mengatakan bahwa marah merupakan ibu dari segala berhala, betapa banyak orang sukses dan berprestasi dalam hidup, tapi gagal dalam menahan marah.

“Maka jangan bereaksi dikala marah, endapkan dulu. Tetap berilmu, tetap beradab, mencerahkan agar tidak melawan ketidakberadaban dengan perilaku yang sama,” ucapnya.

“Reaksi boleh, karena kalau tanpa reaksi kita diperlakukan sewenang-wenang. Tetapi tetap terukur,” pungkas Haedar.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *