PEMILU 2024, antara Harapan dan Beban Masalah

PEMILU 2024
PEMILU 2024
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Syafril Sjofyan, Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B

Hajinews.id – BERBEDA dengan Pemilu 2019, dipastikan beban yang akan dihadapi Pemilu 2024 semakin rumit. Karena Pemilu secara serentak Pilpres, Pileg dan Pilkada, serta masih menggunakan sistim pemungutan dan penghitungan serta rekapitulasi suara dengan cara yang sama dengan cara Pemilu 2019.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Masih secara manual, coblos dengan paku, dan kotak kardus yang digembok, rekapitulasi suara secara bertingkat TPS, Kelurahan, Kecamatan, Kota/Kab, dan Provinsi terakhir KPU Pusat, dengan puluhan model isian form rekap di setiap tingkat.

Beban tugas KPPS, pendistribusian logistik, berkaitan dengan lembaran kertas surat, form isian rekap suara caleg dan Pilpres yang semakin banyak, menjadi beban yang luar biasa bagi petugas penyelenggara Pemilu 2024. Patut dicatat tahun 2019 sekitar 800 orang lebih petugas meninggal dunia, penyebabnya sampai sekarang tidak jelas.

Beban berlebih pada Pemilu 2024 pasti juga akan dihadapi bagi petugas penyelenggara, walaupun Pilkada dilaksanakan dengan bulan berbeda. Terkait tingginya beban kerja penyelenggara Pemilu, khususnya penyelenggara di tingkat TPS, bisa jadi akan berimbas pada keengganan masyarakat untuk berpartisipasi menjadi petugas penyelenggara. Ataupun jika “dipaksakan” secara manusiawi faktor kelelahan yang amat sangat. Kemungkinan kesalahan, kekeliruan, perkeliruan di setiap tingkat juga dipastikan akan terjadi.

Pemilu 2024 dengan cara-cara yang tidak berubah tersebut, juga berbiaya luar biasa besar, lebih 100 triliun rupiah. Dua pertiga untuk anggaran KPU, sepertiganya anggaran Bawaslu. Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh partai dan caleg, calon kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walkot) serta calon presiden untuk membiayai dan menyediakan saksi. Luar biasa edan.

Pertanyaannya adakah cara lain yang lebih murah dan efesien, efektif serta hasil rekapnya bisa dipercaya. Jawaban untuk pertanyaan tersebut sangat pasti: ada.

Dunia teknologi modern sistem digital sudah sangat maju, termasuk Indonesia sebagai negara yang era digitalnya juga sudah sangat maju. Buktinya semua bank/lembaga keuangan dalam setiap kegiatannya sudah menggunakan sistim digitalisasi.

Pemerintah juga demikian, E- Ktp sudah berfungsi. Begitu juga sistem digitalisasi berbasis e-government. Hampir merata di setiap daerah. Jaringan internet juga sudah merata ke setiap desa. Seluruh program dan kinerja tingkat provinsi, kabupaten/kota, bisa terintegrasi secara baik dan terkontrol. Sehingga tidak membuat hambatan yang lebih besar dalam pelayanan kepada masyarakat.

Patut juga dicatat dalam penanganan Covid, melalui digitalisasi Peduli Lindung sangat dibanggakan oleh pemerintah Indonesia kepada dunia, sebagai sistim digital yang terbaik.

Pertanyaan lanjut kenapa dalam penyelenggaraan Pemilu 2024 KPU masih mengunakan sistim ortodok? Pakai paku dan kotak kardus, dengan ratusan juta kertas suara, ratusan juta formulir rekapitulasis, menggunakan tenaga yang jumlahnya luar biasa banyak, dengan bertambahnya TPS, dan jumlah pemilih yang meningkat setelah lima tahun ini.

Penghitungan dan rekapitulasi suara masih dilakukan secara bertingkat TPS, Desa/Kelurahan, Kota/Kabupaten, Provinsi, dan terakhir di tingkat pusat. Dalam proses penghitungan di setiap tingkat kemungkinan kesalahan dipastikan akan terjadi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *