BISNIS KELUARGA

BISNIS KELUARGA
Joko Intarto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Joko Intarto

Hajinews.id – Dalam proses penyusunan buku ”Pantang Menyerah” saya memperoleh informasi baru: Kegalauan pelaku bisnis yang harus menyerahkan pengelolaan usahanya kepada generasi kedua.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kerisauan itu sangat bisa dipahami. Kebanyakan perusahaan di Indonesia dibangun mulai skala mikro. Karyawannya adalah pendiri usaha itu sendiri, dibantu anggota keluarga terdekatnya.
Kian hari usaha mikro itu kian maju. Membesar. Beberapa famili kemudian bergabung menjadi karyawan. Lama-lama ada yang menjadi pimpinan.

Sampai pada tahap itu, perkembangan perusahaan baik-baik saja. Kekompakan sesama generasi pertama terus terjaga.

Masalah mulai muncul ketika generasi pertama itu kemudian berumah tangga. Mulailah muncul konflik. Dari yang kecil-kecil sampai serius.

Tibalah suatu saat, anak-anak mereka atau generasi kedua harus meneruskan estafet. Sayangnya tidak semua anak-anak itu tertarik menjalankan bisnis orang tuanya.

Yang berminat bisnis lalu membangun usahanya sendiri. Yang merasa cocok menjadi profesional justru bekerja di perusahaan besar milik orang lai. Alasan klasiknya: Ilmu yang dipelajari hingga ke luar negeri sulit diaplikasikan di perusahaan orang tuanya.

Perusahaan keluarga yang dibangun generasi pertama dengan susah payah itu terancam keberlanjutannya. ”Misalnya, generasi pertama itu terdiri atas tiga orang saudara. Kemudian masing-masing punya anak. Bagaimana cara mewariskan usaha itu kepada anaka-anaknya? Sepertinya ini sederhana, tetapi sebenarnya rumit,” kata Dewi Kulsum, pengusaha dari Bandung.

Cerita Dewi Kulsum mengingatkan saya pada nasib sebuah perusahaan besar di Bandung yang mengalasi krisis hebat setelah dikelola generasi kedua. Perusahaan itu benar-benar terjebak pada situasi sangat-sangat sulit setelah estafet kepemimpinan ke generasi ketiga.

Awalnya perusahaan itu dikendalikan lima orang pemegang saham. Pada estafe pertama, pemegang sahamnya menjadi 17 orang. Pada kepemimpinan generasi ketiga, pemegang saham bertambah menjadi 39 orang. Tidak mudah bagi manajemen perusahaan dengan pemegang saham sebanyak itu.

”Dibantu seorang business coach, kami mulai membangun roadmap bagaimana model pengelolaan usaha ketika harus scale up dari mikro menjadi menengah dan besar dan bagaimana nasibnya nanti setelah dilanjutkan generasi kedua,” kata Dewi Kulsum.

Dewi Kulsum membangun usaha dari nol pada 1998. Berawal dari jasa desain grafis yang dijalankan di sebuah ruangan ukuran 3 x 3 meter di rumah tuanya yang berlokasi di gang sempit, hingga menjadi perusahaan konfeksi dan suvenir yang besar.

”Besar itu seperti apa gambarannya?” tanya saya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *