Khutbah Jumat: Hikmah di Balik Gagalnya Berangkat Ibadah Haji

Khutbah Jumat: Hikmah di Balik Gagalnya Berangkat Ibadah Haji
Khutbah Jumat: Hikmah di Balik Gagalnya Berangkat Ibadah Haji. Foto: mekah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Abdullah bin Mubarak tidak sedang meremehkan ibadah haji. Ia hanya mendahulukan apa yang seharusnya didahulukan. Ia cuma sedang mengatasi masalah yang amat mendesak, yakni menyangkut kebutuhan dasar orang lain, dengan menunda ibadah haji tahun itu. Toh, bukankah haji yang tertunda masih mungkin dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya?

Perbuatan ini selaras pula dengan kaidah fiqih:

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ القَاصِرِ

“Ibadah sosial lebih utama ketimbang ibadah individual.”

Kaidah ini tidak berbicara tentang mana yang penting dan mana yang tidak penting. Melainkan, mana yang penting dan mana yang lebih penting. Dalam fiqih prioritas (al-fiqh al-awlawi), derajat urgensi suatu ibadah bervariasi: yang satu lebih utama daripada yang lain. Sebagaimana ketika orang harus memilih sesuatu yang mengandung mudaratnya lebih kecil daripada yang mudaratnya lebih besar.

Lanjutan Khutbah I

Jamaah salat Jumat hadâkumullâh,

Kisah tersebut juga memberikan pelajaran bagi kita semua untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan ketika belum mampu berangkat haji lantaran keterbatasan ekonomi atau halangan lainnya. Selain memikirkan bagaimana memenuhi kewajiban suatu ibadah, seseorang juga diharuskan memikirkan mana yang lebih prioritas untuk dilaksanakan. Karena itulah haji hanya diwajibkan bagi yang mampu.

Islam, misalnya, tidak pernah mewajibkan orang miskin berangkat haji ketika ia sendiri masih kesulitan menunaikan kewajiban lain menafkahi anak dan istrinya. Tidak dianjurkan pula baginya memaksakan diri secara berlebihan, hingga menjual aset-aset dasar seperti rumah atau sawah tempatnya mencari nafkah untuk keperluan itu.

Meski demikian, seseorang tetap diharuskan ikhtiar agar dapat melaksanakan ibadah haji. Sebagaimana salat lima waktu dan zakat, haji adalah salah satu rukun Islam. Bila masuk kategori mampu, baik dari segi fisik, ekonomi, maupun keamanan, seseorang wajib menunaikannya tanpa menunda-nunda. Kewajiban tetaplah kewajiban, meskipun kita harus memilih satu kewajiban prioritas saat dihadapkan dengan pilihan beberapa kewajiban yang mesti dipenuhi.

وَلِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS Ali Imran: 97)

Pelajaran kedua, Abdullah bin Mubarak telah melaksanakan “al-birru” atau kebajikan yang memang sangat dianjurkan dalam Islam. Ia menyedekahkan sesuatu yang sejatinya ia perlukan untuk menunaikan ibadah haji. Al-Qur’an menyebutkan:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Kalian tidak akan mendapatkan kebaikan (yang sempurna), sebelum kalian mendermakan sebagian dari hartamu yang kamu cintai. (QS Ali Imran: 92)

“Al-birru” merupakan derivasi dari kata barra-yabirru yang berarti berbuat baik atau patuh. Dari kata ini pula terbentuk istilah mabrûr. Haji mabrur dengan demikian bukan semata soal pelaksanaan rukun dan wajib haji beserta hal-hal teknis lainnya. Tapi juga bagaimana haji membentuk pribadi yang al-bârr, yakni bajik secara sosial.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *