Kudeta Halus Seorang Mantan Presiden!

Kudeta Halus Seorang Mantan Presiden!
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Tentu saja surat dari Gubernur Bali ke Bupati dan Walikota di seluruh pulau dewata itu menimbulkan tanda tanya. Tentang apa kapasitas seorang Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Indonesia “memerintah” Gubernur Bali meskipun berasal dari partai yang sama. Apalagi Megawati meminta Gubernur untuk memberikan “catatan khusus” bagi Bupati/ Walikota yang tidak hadir dalam rapat yang digelarnya. Apakah semua Bupati / Walikota di pulau Bali itu berasal dari PDIP semua ?.

Kalaupun iya apakah ada wewenang untuk melakukannya?

Terlihat sekali aroma pencampuradukkan antara fungsi pemeritahan dan fungsi kepartaian sehingga membuat sulit untuk menarik batas batasnya. Apakah acara itu merupakan acara internal partai atau acara pemerintahan karena menggunakan sarana pemerintahan untuk menggerakkannya.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tak terbayangkan apa jadinya kalau ada Gubernur lain yang mengeluarkan surat seperti yang dibuat oleh Gubernur Bali tersebut atas arahan dari Presiden masa lalu yaitu Ibu Megawati presiden kelima Indonesia. Karena akan muncul tanda tanya, bagaimana dengan status presiden terpilih yang sekarang berkuasa ?. Apakah keberadaannya tidak dianggap sehingga sah sah saja untuk diabaikan fungsi dan kewenangannya?

Apa yang terjadi dengan adanya peristiwa “surat sakti” Gubernur Bali ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai upaya kudeta halus terhadap sebagian kekuasaan yang dimiliki oleh Pemerintah yang sekarang berkuasa. Karena kewenangan memerintah pejabat publik seperti Gubernur itu sebenarya ada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sebagai kepanjangan tangannya. Kalau kemudian kewenangan ini diambil alih oleh seorang presiden masa lalu tanpa adanya protes atau komplain dari yang punya kuasa kira kira apa yang menjadi penyebabnya ?

Dampak Kudeta Halus

Kudeta halus seperti yang terjadi pada Gubernur Bali itu bisa saja terjadi pada wilayah lain di seluruh Indonesia namun tidak terendus karena kebetulan tidak ada dokumen formal seperti surat yang menjadi petunjuknya. Namun secara lisan bisa saja dan sangat mungkin terjadi dalam praktek ketatanegaraan kita.

Awal pangkal dari terjadinya fenomena tersebut karena elit partai politik telah gagal memahami status kader partainya yang berkecimpung di ranah publik sehingga masih merasa mempunyai otoritas penuh untuk terus mengintervensinya. Salah satunya karena kader partai yang masuk jabatan publik dianggap sebagai petugas partai yang harus tunduk dan patuh pada titah elit politik yang menjadi pimpinannya.

Sesungguhnya istilah petugas partai itu sendiri seperti dua sisi mata uang logam yang mempunyai makna ganda. Karena orang bisa menilainya secara positif tapi bisa juga negative tergantung dari sudut mana memandangnya.

Dalam pengertian positif petugas partai dapat diartikan sebagai sebuah identitas seorang kader partai yang mengemban tugas melaksanakan core perjuangan dan nilai-nilai partai politik yang menaunginya.Dalam posisi ini, selama partai politik tersebut memiliki serangkaian prinsip dan kebijakan yang jelas seperti pro kepentingan rakyat, maka istilah petugas partai adalah hal yang baik karena kader yang bersangkutan berarti menjalankan misi partai untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Namun dalam pengertian yang negatif petugas partai dimaknai sebagai seorang petugas yang hanya `nurut` tunduk dan patuh pada kehendak partainya saja. Padahal ia sedang mengemban jabatan publik yang seharusnya bertanggung jawab kepada seluruh rakyat yang telah memilihnya.

Namun kenyataannya, dalam tataran praktis istilah petugas partai nampaknya lebih dekat dengan pengertian negatifnya dimana kader partai ketika menduduki jabatan publik tetap dikendalikan oleh elit partai yang menaunginya. Sehingga sang petugas partai akhirnya lebih tunduk dan patuh pada rambu rambu partainya ketimbang berhikmat untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Pada hal idealnya seorang kader partai yang telah menduduki jabatan publik sudah seharusnya untuk bersedia menanggalkan kepentingan partai dimana ia berasal dan berganti untuk mengabdi kepada kepentingan bersama seluruh warga bangsa.

Disisi lain elit partai politik harus mau legowo untuk merelakan kadernya mengabdikan diriya pada kepentingan rakyat secara keseluruhan dan mengesampingkan kepentingan partai karena kader yang masuk menjadi pejabat publik itu istilahnya sudah diwakafkan oleh partainya untuk mengabdi pada kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *