Kudeta Halus Seorang Mantan Presiden!

Kudeta Halus Seorang Mantan Presiden!
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Harapan untuk mewujudkan cita cita seperti digambarkan diatas nampaknya masih menjadi utopia. Karena kader partai yang menjadi pejabat publik seringkali dimanfaatkan oleh partainya untuk misalnya mencari dana partai lewat proyek proyek pemerintah yang dikelolanya.

Ternyata makna petugas partai dalam pengertian negative tersebut tidak hanya di ranah eksekutif semata tetapi juga ada diranah legislative dan mungkin yudikatif juga. Di ranah legislative tergambar misalnya dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR RI bersama Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD mengenai kontroversi aliran dana mencurigakan 349 Triliun di kementerian keuangan (29/3/2023).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam rapat tersebut Mahfud MD sempat menagih janji para wakil rakyat tersebut mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal yang terus tertunda pembahasannya.

Saat itu Bambang Waluyo alias Bambang Pacul yang menjadi pimpinan rapat secara terang-terangan mengaku tak berani mengesahkan RUU tersebut jika tak diperintah oleh ketua umum partainya.Ia juga berseloroh bahwa semua anggota DPR pasti setuju dengan pernyataannya bahwa tidak akan ada yang berani mengambil kebijakan jika ketua partai masing-masing tidak memerintahnya.

Harus diakui, meskipun sejatinya DPR itu adalah wakil rakyat namun dalam prakteknya peran partai sangat dominan sehingga ruang gerak sebagian anggota DPR mengalami pembatasan pembatasan sehingga tidak bisa sepenuhnya menjalankan peran dan fungsinya. Mereka juga akhirnya juga lebih menjalankan fungsinya sebagai petugas partai ketimbang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bansa dan negara.

Seperti yang pernah disinggung oleh Fahri Hamzah, anggota DPR itu pada umumnya dikendalikan oleh ketua umumnya. Ketua umum partai politik (parpol) itu terlibat di dalam satu mekanisme oligarki untuk mengatur kekuasaan legislatif dari belakang layar.”Sinisme rakyat kepada DPR itu tidak bisa dihindari karena setelah dipilih anggota DPR itu tidak bisa dikendalikan oleh rakyat dan konstituennya,” kata mantan wakil ketua DPR RI periode 2014-2019 ini seperti dikutip media 07/10/20.

Karena itu, Fahri mengatakan apa yang disebut sebagai telepon Pak Ketum, Bu Ketum, Pak Sekjen, Bu Sekjen dan sebagainya adalah hal lumrah saja. ”Anggota DPR kita tidak independen, mereka bukan wakil rakyat, mereka adalah wakil parpol yang menjadi kendaraan politiknya. Dan karena itu kadang-kadang saya anggap mereka juga adalah korban dari sistem yang mereka sendiri tidak mampu untuk mengubahnya,” ungkapnya.

Kondisi tersebut tentu saja telah membuat anggota DPR gagap dalam menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya karena merasa diawasi setiap gerak geriknya termasuk suaranya oleh partai pengusungnya. Maka jangan heran kalau ada anggota DPR yang awalnya mungkin vokal kemudian mundur teratur karena adanya batasan batasan yang ada diluar kekuatannya.

Sampai disini tentunya kita bisa memahami bahwa ternyata kudeta halus itu tidak hanya terjadi dilingkungan eksekutif semata tetapi juga terjadi dilingkungan legislatif bahkan dilingkungan yudikatif juga.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *