“Si Paling NU” di Pilpres 2024

Si Paling NU
Nahdlatul Ulama
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ikrama Masloman, Strategic Manager KCI LSI

Hajinews.id – GENDANG Pilpres sudah ditabuh. Namun pilpres 2024 punya Irama berbeda, sejak Nahdlatul Ulama (NU) sebagai struktur organisasi tidak ikut memberi nada dengan tidak menyodorkan kader terbaiknya dalam mengisi sirkulasi kepemimpinan nasional, memilih presiden dan wakil presiden pada pilpres 2024 mendatang.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Absennya NU dalam mengorkestrai pergantian kekuasaan ini tidak dilepaskan dari pilihan kebijakan PBNU yang lebih mengedepankan politik kemaslahatan dan politik kebangsaan ketimbang politik praktis.

Politik praktis dinilai telah membelah warga Nahdliyin dalam irama ketidakharmonisan, kebencian dan permusuhan, yang banyak menggoreskan luka akibat polarisasi pilihan politik.

Namun apakah NU bisa lepas dari godaan kekuasaan, mengingat relasi NU dan politik kekuasaan selalu bekelindan.

Sejak reformasi, ketika keran kebebasan dibuka, dan politik bertransisi dari menghamba pada rezim otoriter orde baru, beralih ke daulat rakyat sebagai pemberi kekuasan, keran kebebasan itu mengalir juga ke kantong-kantong pemilih Nahdliyin.

Dari data LSI Denny JA, sebanyak 49,5 persen publik Indonesia mengidentifikasikan diri meraka sebagai Nahdliyin.

Besarnya ceruk pemilih tersebut akan sulit membayangkan kandidasi capres dan cawapres 2024 tidak diisi warga Nadhliyin.

Kandidasi di level capres, dari tiga kandidat, yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, meski tidak berakar langsung dengan entitas Nahdliyin, namun dari Survei Kompas 2022, sebesar 62,2 persen warga NU telah melimpahkan dukungan mereka pada ketiga capres tersebut.

Dukungan tertinggi mengalir pada Ganjar dan Prabowo yang masing-masing 24 persen, sedangkan Anies terpaut jauh di bawahnya hanya memperoleh 13,1 persen dukungan.

Belum solidnya dukungan Nahdliyin dan rapuhnya ikatan ketiga capres dengan entitas Nahdliyin, maka posisi cawapres menjadi penting untuk menggenapi sisa dukungan dari kelompok NU.

Terang saja, nama-nama seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Muhaimin Iskandar, Agus Harimurti Yudhoyono, Khofifah Indar Parawansa, kian moncer sebagai “si Paling NU”.

Dari nama-nama itu ada yang baru ber-KTA dan ada pula yang kian membersamai tradisi NU, mulai dari Wiridan, hingga Sarungan, dari safari pesantren sampai ziarah bersama ustadz ngetren.

Nah, lantas siapa “Si Paling NU”? Dari mereka semua, dan akankah suara NU bulet, memfilter para kandidat, layaknya Indonesian Idol.

Sebagai organisasi massa berinspirasi agama (Islam), bulat lonjongnya dukungan NU, tidak bisa dipisahkan dengan pandangan religiusitas warga NU itu sendiri.

John C. Green dalam bukunya the faith factor: how religion influences American elections terbitan 2007, membagi religiusitas di ranah politik dalam tiga bagian, yaitu religious belonging, religious believing, religious behaving.

Meminjam tiga terminologi religiusitas itu, menurut penulis di ranah religious belonging, publik yang menyatakan sebagai warga NU atau terafiliasi dengan NU, tidak serta merta tunduk pada hirarki struktural organisasi, meski NU berkarakter tradisional, yang memiliki pola patron-client, dengan doktrin sami’na wa athona (petunjuk kiai, adalah titah untuk jama’ah).

Namun kiai NU lebih bersifat terlokalisir, mereka tersebar dari kiai di pesantren besar hingga ustadz di surau kecil, melebar juga dari kiai, Habib dan syech di majelis akbar hingga ustadz, ustazah yang mengisi pengajian ibu-ibu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *