Urgensi “Polling” dan Kritik Rocky Gerung

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Moh. Samsul Arifin mantan Koordinator Riset News Development ANTV (2010-2013), staf Litbang Liputan 6 SCTV (2006-2009)

Hajinews.id — Sepanjang demokrasi langsung, sebagian menyebutnya demokrasi liberal, yang dimulai pada 2004 silam, tak ada kritik yang lebih lantang dan menohok dibandingkan yang diutarakan Rocky Gerung akhir-akhir ini. “…semua lembaga survei yang ada sekarang itu adalah urusannya tipu-menipu, saling menitip kuesioner, kan itu mirip-mirip saja. Jadi selama tidak bisa dibuktikan bahwa itu lembaga dibiayai oleh publik, tidak mungkin itu benar.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Ini generalisasi, gebyah uyah, dan sesat pikir. Semua lembaga survei berarti seluruhnya, tidak menyisakan satu pun. Ini pernyataan yang gegabah. Sebab tidak mungkin dan tak dapat atau belum dapat dibuktikan bahwa semua lembaga survei yang ada saat ini sedang melakukan tipu-menipu.

Survei, polling, atau jajak pendapat penting betul dalam demokrasi. Ini adalah sumbangan ilmu statistika yang layak disyukuri untuk demokrasi, terlebih bagi Indonesia yang telah mengadaptasi demokrasi langsung (Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sejak 2004 dan Pemilihan Kepala Daerah sejak 2005). Dengan polling, kita dapat mengetahui opini publik atas suatu isu, masalah, dan bahkan tokoh yang dikehendaki masyarakat untuk memimpin kota, kabupaten, provinsi atau negara.

Meminta pendapat publik atau rakyat atas suatu hal, termasuk kandidat calon presiden dan calon wakil presiden adalah suatu cara jitu menggali aspirasi mereka. Dengan cara itu demokrasi berjalan dua arah. Suara elite atau petinggi partai politik bukan mutlak, tapi mesti dibarengi dengan mencermati suara rakyat dari seluruh lapisan. Elite politik tak boleh berada di menara gading, tapi harus berkorespondensi dengan suara rakyat.

Polling kandidat capres atau cawapres, dalam hal ini, dapat “menginterupsi” kecenderungan egois dan bahkan megalomania dari petinggi partai politik dalam memilih siapa capres atau cawapres mereka. Bukan tanpa alasan jika ada yang bilang, polling adalah mandate from people. Jadi sebuah mandat, bahkan mungkin lebih tinggi lagi: perintah rakyat.

PDI Perjuangan contohnya. Partai ini sesungguhnya menyerahkan siapa capres yang akan diusungnya kepada ketua umum, yakni Megawati Soekarnoputri. Megawati memiliki otoritas penuh atau prerogatif. Tapi ternyata suara rakyat, seperti yang terekam dalam polling oleh lembaga survei, ikut menentukan dan diperhatikan Megawati. Itulah mengapa dia memilih Joko Widodo menjadi kandidat presiden dari PDIP (2014).

Dan, sekarang Megawati memberi kepercayaan kepada Ganjar Pranowo—dan bukan kepada putrinya, Puan Maharani—untuk menjadi capres PDIP pada Pemilu 2024 mendatang. Polling dalam aspek tertentu ternyata mampu dan manjur untuk “merasionalisasi” keputusan superpenting dari partai politik.

Dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan, polling dapat memprediksi secara tepat (akurat) kecenderungan suara rakyat di kota, kabupaten, provinsi atau negara. Itulah berkah statistika lewat teknik sampling. Di sini sampel yang digunakan untuk membaca atau memprediksi suara rakyat harus mewakili populasi. Jumlah sampelnya tidak harus besar. Di sini tidak berlaku hukum “makin besar sampel yang digunakan berarti hasilnya makin menjelaskan populasi”. Yang penting jumlah sampelnya harus mewakili populasi.

Karena tidak semua penduduk Indonesia menggunakan smartphone atau telepon, maka sampel yang digunakan tidak boleh penduduk yang memakai telepon saja. Sebab ini jelas bakal bias, dan hasilnya tidak mewakili populasi Indonesia. Polling atau jajak pendapat via telepon hanya mewakili mereka yang menggunakan telepon saja. Yang semacam ini, atau polling via Twitter atau website, harus dibaca sebagai “hiburan” semata sebab jelas-jelas tidak mewakili populasi Indonesia.

Inilah mengapa setiap mengumumkan hasil polling-nya, sebuah lembaga survei mencantumkan berapa jumlah sampel, profil responden mereka yang dekat dengan demografi penduduk Indonesia, sebaran polling (tempat), waktu polling, margin of error hingga pertanyaan yang diajukan kepada responden. Inilah pertanggungjawaban teknis.

Harus diakui, dan ini benar-benar fakta, setelah Lembaga Survei Indonesia (LSI) memulai tradisi survei dan polling, jumlah lembaga yang mengambil ceruk ini seperti cendawan di musim hujan. Indonesia adalah pasar yang gendut, jumlah kabupaten dan kotanya mencapai 514. Belum lagi provinsi yang melar menjadi 37. Kehadiran lembaga survei harus dibaca tidak dengan apriori, meskipun di baliknya ada orientasi ekonomi yang kental. Yang penting, lembaga-lembaga survei itu independen, tidak partisan, teguh dan taat dalam hal metodologi serta mempertanggungjawabkan aspek pendanaannya.

Demokrasi itu hasil impor. Begitu pula demokrasi langsung dan teknik polling. Tidak ada yang salah dengan itu semua. Demikian juga dengan pendanaan dari asing. Andai pun dibiayai oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) atau Bank Dunia (World Bank) atau partai politik itu absah. Asal diumumkan kepada publik dan pembiayaan oleh pihak lain itu tidak “membeli” atau menyetir bagaimana survei atau polling itu dilakukan serta tidak mempengaruhi hasil surveinya.

Inilah pertaruhan etis dan moral bagi lembaga survei, pentolan lembaga survei hingga pekerja lapangan yang terlibat—sebuah diskusi yang diajukan sejak lembaga survei intim dengan demokrasi langsung di Indonesia. Dari sudut ini, lembaga survei yang sekaligus bertindak dan berperan sebagai konsultan sudah barang tentu amat sulit untuk diukur kadar independensinya.

Tapi, saya kira, kritik Rocky Gerung jangan diarahkan kepada lembaga survei saja. Di era digital sekarang ini, media massa masih punya peran besar dalam menyebarkan hasil survei atau polling lembaga tertentu. Pada mereka harus diajukan sejumlah pertanyaan: Apakah media massa (dari media online hingga televisi) selektif dalam memberitakan hasil survei itu? Apa kriteria yang ditetapkan ruang redaksi mereka dalam menentukan sebuah hasil survei itu diberitakan atau tidak?

Rekam jejak lembaga survei, kredibilitas, serta integritas pentolan lembaga survei hingga prestasi atau pencapaian lembaga tadi terlalu penting untuk tidak dipelototi oleh media massa. Dengan seleksi, tidak semua hasil survei harus diberitakan atau disiarkan kepada publik. Lebih penting lagi, media massa juga mesti pintar membaca secara kritis hasil survei.

Dengan pembacaan yang kritis, media massa dapat menetapkan fokus dan angle yang dianggap penting tapi tidak ditonjolkan oleh lembaga survei saat mengumumkan hasil polling mereka. Jadi agenda setting si media mandiri, tidak disetir oleh (misalnya) konferensi pers dari lembaga survei. Kalau setiap hasil survei diberitakan tanpa dipertanyakan di ruang redaksi, tentu saja publik tidak terbantu untuk membaca hasil survei secara kritis.

Tentang betapa pentingnya lembaga survei atau lembaga kredibel, termasuk media massa menggelar survei, contoh berikut barang kali dapat memberi ilustrasi. Selepas putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2012, saya melakukan riset kecil. Waktu itu sejumlah lembaga menggelar Quick Count—ini adalah teknik atau cara yang ditempuh untuk memperkirakan suara pasangan calon (gubernur dan wakil gubernur) yang bertarung di ajang lima tahunan itu.

Sampelnya adalah hasil QC dari 5 lembaga, yakni Litbang Kompas, Jaringan Suara Indonesia (JSI), Indo Barometer, Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Prisma LP3ES-MNC Research. Yang diukur, pertama seberapa akurat hasil QC lima lembaga itu? Kedua, seberapa presisi hasil QC atau hitung cepat lima lembaga tadi dibandingkan hasil perhitungan resmi KPU DKI Jakarta?

Ternyata hasil lima lembaga itu akurat, sesuai dengan hasil resmi, yaitu Joko Widodo-Ahok unggul atas empat pasangan calon lainnya. Di urutan kedua, ada Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Lantaran tak ada pasangan yang tembus 50 persen plus satu, pemilihan gubernur dan wakil gubernur ibu kota itu harus berlanjut ke putaran kedua.

Sementara untuk parameter presisi, Litbang Kompas paling unggul dengan deviasi +/- 0,143. Presisi menunjuk kepada hasil yang paling dekat dengan hasil resmi KPU DKI Jakarta. Adapun LSI–yang terbilang paling berpengalaman sejak Pemilu 2004–memiliki deviasi rata-rata +/- 0,173. Sedangkan hasil hitung cepat Prisma LP3ES-MNC Research punya deviasi rata-rata +/- 0,205, dan Indo Barometer dengan deviasi rata-rata +/- 0,273, serta JSI (+/- 0,348).

Tapi, apakah kekhawatiran Rocky tentang survei tipu-tipu itu dapat terjadi? Saya kira mungkin saja. Tapi, tentu tidak mungkin semua atau seluruh lembaga survei itu suka tipu-menipu. Sebab yang dipertaruhkan adalah integritas dan kredibilitas lembaga itu serta para pentolan di belakangnya. Dan, itu terlalu mahal, terlebih jika mereka ingin menegakkan demokrasi substantif di negeri kita.

Sumber

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *