Timwas Haji DPR: Pemerintah Harus Benahi Manajemen Penyelenggaraan Haji

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Komisi VIII DPR RI meminta pemerintah membenahi sistem manajemen penyelenggaraan ibadah haji agar jemaah semakin nyaman saat beribadah. Hal ini menyusul banyaknya kendala teknis yang ditemukan dalam penyelenggaraan haji tahun 2023.

“Ada faktor cukup penting yang selama ini tidak kita perhatikan, karena kan lebih fokus pembahasannya anggaran haji. Faktor yang penting salah satunya manajemen penyelenggaraan haji,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka dalam keterangan tertulis, Minggu (2/7/2023).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Diah merupakan salah satu anggota Tim Pengawas Haji (Timwas) DPR yang bertugas memantau pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi. Berdasarkan hasil pengawasannya, menurutnya sistem manajemen penyelenggaraan haji dan kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) petugas menjadi persoalan paling utama yang harus dibenahi pemerintah.

Seperti diketahui, kuota jemaah haji Indonesia tahun 2023 mengalami peningkatan menjadi sekitar 230 ribu orang. Kenaikannya mencapai lebih dari 2 kali lipat dibanding tahun lalu, sebab sebelumnya Pemerintah Arab Saudi hanya memberikan kuota jemaah haji Indonesia sebanyak 100 ribu orang.

Diah menilai manajemen krisis dalam penyelenggaraan haji kali ini belum optimal. Apalagi banyak jemaah haji lansia yang diprioritaskan untuk berangkat tahun ini sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang memberlakukan batasan usia untuk keberangkatan haji.

“Terlebih sekarang mengambil kebijakan 30 persen lansia, berarti ada 70 ribu lansia jemaah haji Indonesia kali ini. Artinya beban kerja teknis bagi pendamping kan jadi lebih meningkat tapi ini menurut saya ujian bagi tata kelola manajemen haji kita,” jelasnya.

Karena keterbatasan para lansia dalam beribadah, lanjutnya, peran pengawas haji menjadi krusial dalam menyukseskan penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama (Kemenag).

“Ada jemaah yang sebetulnya secara kesehatan sudah berat dan perlu mendapat bantuan. Walaupun tentu orang kadang ingin berangkat haji, tapi lansia-lansia memang secara fisik sudah butuh asisten personal,” papar Diah.

“Nah pendekatannya belum kita bicarakan, jadi kita harus bisa memberi perhatian lebih pada kualitas pelayanannya secara kualitatif,” tambahnya.

Ia berharap Kemenag dapat menugaskan lebih banyak petugas haji, khususnya pendamping lansia. Dengan adanya peningkatan pendamping, hal ini dinilai dapat membantu para jemaah lansia yang kesulitan saat menunaikan ibadah haji.

“Hari ini pendamping haji perannya menjadi sangat penting. Saat ini nggak bisa personal asisten karena kapasitas kuota petugas nggak bisa menangani person to person,” sebutnya.

“Memang ada lansia yang ditangani oleh teman sekamarnya tapi ada juga yang tidak. Karena kan nggak bisa ditemenin terus, orang juga kan harus ibadah. Ini yang sebetulnya kita belum mendapatkan gambaran teknis bagaimana rencana Kemenag menyangkut lansia,” sambungnya.

Imbauan untuk Cegah Masalah Terlantarnya Jemaah Haji

Diah menambahkan ada masalah lain soal terlantarnya sejumlah jemaah haji usai menunaikan ibadah wukuf di Arafah. Ia mencontohkan persoalan toilet mungkin jadi hal sepele di hari-hari, namun saat pelaksanaan haji menjadi sangat signifikan apalagi bagi lansia.

“Toilet itu ngantre-nya kurang lebih satu jam karena jumlah jemaahnya yang luar biasa. Nah antre satu jam ini yang lansia kan kasihan. Kita melihatnya sedih. Keran juga kemarin ada yang bocor. Ada juga lansia-lansia yang itu di Mina jalan ke Jamarat, padahal harusnya bisa dibadalkan,” tuturnya.

Diah juga meminta pemerintah mengevaluasi masalah maktab agar jemaah haji tak lagi terlantar tidur di luar tenda di Mina akibat kelebihan kapasitas. Apalagi dalam kejadian tersebut terdapat rombongan lansia.

“Bagaimana formatnya di tenda itu, siapa yang jaga karena memang harus bermalam di sana. Yang paling berat dalam ibadah haji itu memang di Arafah-Mina karena nggak ada transportasi,” ucap Diah.

“Jadi orang itu sekali lempar jumrah bisa berjalan 2-3 km minimal dari tenda-tenda maktab kita. Nah ini pulang pergi 3 kali, kebayang dalam kondisi panas, lalu tidur di tenda ada yang di luar, belum lagi keterbatasan toilet,” sambungnya.

Ia menekankan kondisi ini memerlukan manajemen yang efektif dan efisien. Salah satu solusinya dengan menghadirkan tim teknis yang mengontrol kegiatan jemaah selama menjalankan rangkaian ibadah haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

“Ini untuk memastikan quality control sehingga pelayanan terhadap jemaah haji lebih optimal,” terang Diah.

Lewat tim teknis itu, ia menilai komposisi petugas yang menangani jemaah selama di Arafah, Muzdalifah, dan Mina bisa lebih jelas. Harapannya, setiap kendala bisa cepat diselesaikan apabila ada petugas yang bertugas.

“Misalnya satu petugas haji itu bisa meng-handle berapa jemaah, jadi komposisinya satu petugas pegang berapa jemaah. Kemudian berapa persen petugas yang efektif, karena petugas ini tidak selalu mendampingi jemaah,” urainya.

Lebih lanjut, ia menerangkan tim teknis quality control bisa berperan mengantisipasi maktab bagi jemaah haji yang malah dipakai oleh peziarah. Sebab tak sedikit ditemukan peziarah yang memanfaatkan fasilitas haji, sehingga jemaah haji justru terkena imbasnya karena jatah tendanya diambil.

“Masalah tenda kita diambil untuk ziarah, yang visanya itu visa turis atau visa kunjungan. Ini juga harus dievaluasi dalam kerangka manajemen,” tegas Diah.

Tak hanya soal tenda, Legislator dari Dapil Jawa Barat III itu menyoroti kualitas pemondokan jemaah haji secara keseluruhan. Diah meminta penyelenggara haji terus mengontrol kualitas pelayanan terhadap jemaah, termasuk dalam hal pemondokan atau hotel tempat jemaah menginap selama menjalankan ibadah haji.

“Kita perlu juga petugas untuk melakukan kontrol. Misalnya itu ada hotel yang pelayanan itu setiap hari seprainya diganti, ada yang selama sebulan seprainya tidak diganti padahal satu kamar itu 5-7 orang,” tuturnya.

Mengenai kualitas hotel, pimpinan di DPR yang membidangi urusan agama tersebut meminta Kemenag melakukan standarisasi. Kembali lagi ia menekankan diperlukannya sistem manajemen penyelenggaraan haji.

“Perlu ada yang satu atau dua minggu sekali berkomunikasi dengan pemilik hotel, ajukan komplain kita minta perbaiki layanannya. Jadi standar service semua jemaah itu menurut saya harus sama,” tegasnya.

Di sisi lain, Diah mendorong Kemenag mengevaluasi sistem kerja petugas haji. Sebagai ujung tombak pelayanan haji, Kemenag harus bisa mencari format sebaik mungkin mengenai kebutuhan SDM yang bertugas memberi pelayanan kepada jemaah haji.

“Termasuk juga jam kerja. Karena jam kerjanya nggak rata, ada yang mungkin sedikit, ada yang sampai 16 jam sehari. Beban kerjanya bertambah, tapi SDM-nya tidak dipersiapkan dengan beban kerja yang bertambah itu. Ini harus diperbaiki. Nanti kita evaluasi,” imbuhnya.

“Kita juga berharap misalnya kamar petugas itu kalau bisa jangan satu kamar 5 orang udah gitu nggak ada mesin cuci. Ini 2 bulan lho. Bagaimana mereka membantu sebagai personal asistennya, kalau untuk dirinya sendiri kerepotan,” tambahnya.

Penerapan sistem shift atau pembagian jadwal kerja petugas juga dinilai menjadi hal yang penting. Apalagi pelaksanaan ibadah haji banyak dilakukan malam hari, sehingga stamina petugas dalam memberi pelayanan kepada jemaah dapat dipastikan berjalan dengan baik.

“Jadi manajemen SDM dan energi ini yang selama ini belum pernah kita exercise. Kita simulasikanlah, cara kerjanya bagaimana. Harus ada shift dalam sistem kerja, pembagian tugas karena petugas kan juga manusia, tubuh juga butuh istirahat,” jelas Diah.

Ia memberi saran untuk memperbanyak pemberdayaan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Arab Saudi sebagai tambahan pendamping haji. Sebab saat ini tenaga pendamping haji musiman hanya berkisar 200 orang yang diberdayakan sebagai tenaga tambahan.

“Selama ini kan kita bicaranya fasilitas makanan dan hotel tapi saya melihatnya dalam pengawasan haji ini, saya coba melihat dari perspektif lain. Manajemen pelayanan dan sumber daya manusia dalam pelaksanaan haji,” ungkap Diah.

Diah mengungkapkan berbagai kesulitan yang dihadapi jemaah haji Indonesia akan dibahas oleh DPR bersama Kemenag. Harapannya, pemerintah memiliki solusi atas persoalan-persoalan teknis yang terjadi di lapangan.

“Ini jadi PR, kita melihat ini dalam kerangka sebuah manajemen kerja dan manajemen sumber daya termasuk juga energi. Ini akan diperbaiki, akan kami evaluasi kembali bagaimana SOP-nya, penanganannya, dan lain-lain,” pungkasnya.

 

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *