Kultum 156: Ikutilah Petunjuk, Bukan Tradisi

Ikutilah Petunjuk
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.id – Salah satu tradisi yang masih juga ada di Indonesia, dan beberapa Negara lain, adalah tradisi “Pecah Kendi” dalam acara peresmian atau hajat tertentu. Dalam hal ini, semua umat Islam sepakat bahwa tradisi ini berangkat dari sebuah kebiasaan. Islam sama sekali tidak pernah mengajarkannya, baik dalam bentuk dalil tegas maupun isyarat.

Melakukan kegiatan budaya semacam ini, pada asalnya tidak dilarang selama tidak melanggar syariat. Sebagaimana dinyatakan dalam hadits, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ  Artinya: “Kalian lebih paham tentang urusan dunia kalian” (HR. Muslim no. 6277). Seperti yang juga kita maklumi, latar belakang keberadaan hadits ini juga berkaitan dengan masalah pekerjaan.

Pada jaman Rasulullah para sahabat asli Madinah mengkawinkan kurma, yang itu memerlukan upaya banyak dalam melakukannya. Karena petani harus naik ke kurma jantan, ambil benang sari, lalu turun, kemudian naik lagi ke pohon kurma betina, untuk menaruhnya di putik. Melihat hal ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang penduduk Mekah merasa heran, dan menurut beliau hal itu buang-buang energy.

Rasulullah lalu menyarankan, “jika memang sudah ditaqdirkan berbuah, pasti akan berbuah”. Akibatnya, di tahun itu, banyak kurma gagal berbuah. Dari peristiwa itulah, Rasulullah menyatakan bahwa untuk urusan dunia, masyarakat lebih paham. Budaya semacam ini sangat mungkin mengalami perubahan seiring interaksi masyarakat dan asimilasi budaya diantara mereka. Sekali lagi, hadits itu terucap dalam hal ‘urusan dunia’.

Namun seiring berjalannya waktu dan adanya dorongan keyakinan tertentu, atmosfirnya bisa berubah. Manusia akhirnya menyebutnya sebagai filosofi budaya. Setelah sekian lama, hal ini dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal.

Sejaln dengan filosofi budaya, masing-masing daerah di Indonesia berbeda-beda, tergantung budaya masing-masing. Pamali atau pantangan, misalnya, yang berlaku di Jogja  berbeda dengan pamali yang berlaku di Sumatra, Papua, atau Lombok. Demikian pula yang kaitannya dengan sebab-sebab ‘keberuntungan’.

Sementara di Solo yang dianggap sebab keberuntungan adalah kerbau, di Papua sebab keberuntungan adalah babi, di Lombok ataupun Bali berbeda lagi. Itulah efek dari keberadaan mitos yang dipercaya manusia yang berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Budaya semacam ini tidak mengalami perubahan, yakni dari dulu sejak jaman nenek moyang masih hidup sampai sekarang masih sama.

Bahkan sampai jaman super modern atau jaman IT, budaya dengan latar belakang mitos ini, protap-nya tetap sama. Yang menjadi persoalan adalah budaya semacam ini sering dikait-kaitkan dengan takdir, baik berupa keberuntungan maupun kecelakaan. Dalam masyarakat Jogja misalnya, mengadakan hajatan saat bulan Suro (Muharram) adalah sumber ciloko (kecelakaan).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *