Kultum 163: Ittiba’ dan Meninggalkan Bid’ah

Ittiba’ dan Meninggalkan Bid’ah
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.id – Sejak jaman Rasulullah Shaallahu ‘alaihi wasallam sampai jaman yang dikatakan sebagai ‘jaman super moderen’ ini, ternyata amalan bid’ah itu tetap saja ada. Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sempurnanya ibadah adalah dengan dua pokok, yaitu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan tidak beribadah kecuali dengan apa yang telah Dia syari’atkan” (kitab: Al-Ubudiyyah, hlm. 31).

Maksud dari pernyataan Ibnu Taimiyyah tersebut adalah, bahwa hendaknya kita jangan sampai beribadah kepada Allah dengan (secara) bid’ah. Hal itu sebagaiamana Allah Subahanhu wata’ala berfirman,

فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلا

صَٰلِحا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

Artinya:

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya (QS. Al-Kahfi, ayat 110).

Di dalam ayat 110 surat Al-Kahfi di atas, Allah Subahanhu wata’ala memerintahkan agar amal ibadah itu shalih, maksudnya (1) sesuai dengan sunnah, kemudian Allah memerintahkan agar orang yang ibadah itu (2) mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah. Di dalam tafsirnya, Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, “Ini adalah dua rukun amal yang diterima, yaitu ibadah harus Ikhlas karena Allah dan harus benar berdasarkan syari’at Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam” (Tafsir Ibnu Katsir).

Berdasarkan tafsir, jelaslah bahwa agar amal yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘sah’, maka kita harus memenuhi dua syarat utama. Dua syarat itu harus terkumpul, menyatu dan tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu, (1) Ikhlas murni beribadah hanya untuk Allah, dan (2) Hanya mengikuti syari’at Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Dalam hal ini Allah berfirman,

إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ

فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصًا لَّهُ ٱلدِّينَ

Artinya:

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur’an) dengan kebenaran, maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (QS. Az-Zumar, ayat 2).

Bahkan di dalam surat Al-Qashash, dalam ayat yang lebih panjang Allah berfirman (yang artinya) “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash, ayat 77).

Firman Allah dalam surat Az-Zumar dan Al-Qashash di atas masih dipertegas lagi dalam Hadits Qudsi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ

عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Artinya:

Aku sama sekali tidak memerlukan sekutu, barangsiapa melakukan suatu amalan dengan menyekutukan Aku dengan yang lain, maka akan Aku tinggalkan dia dan sekutunya (HQR. Muslim, dalam kitab Az-Zuhd).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *