Kultum 166: Penulisan Al-Qur’an dan Hadits Bukan Bid’ah

Penulisan Al-Qur’an dan Hadits Bukan Bid'ah
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.id – Bid’ah juga banyak yang berbentuk perbuatan-perbuatan orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah. Bahkan ada juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kepada kesyirikan. Contoh bid’ah seperti ini misalnya membangun sarana bangunan di atas kubur, shalat dan berdo’a di sisinya.

Ada juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dalam meyakini Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti bid’ahnya orang yang beribadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bid’ah seperti ini misalnya melakukan puasa (shiyam) dengan berdiri di terik matahari. Ada juga yang sampai memotong jalur/tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’ (bersetubuh).

Perlu juga diketahui bahwa membagi bid’ah menjadi dua, yakni bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyi’ah (jelek) adalah salah dan menyelisihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah telah bersabda, “Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghukumi setiap bentuk bid’ah itu adalah sesat, maka jelaslah bahwa tidak ada pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.

Menurut Al-Hafidz Ibnu Rajab dalam kitabnya “Syarh Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (Setiap bid’ah adalah sesat), beliau memandang hal itu merupakan perkataan yang mencakup keseluruhan. Jadi, tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut, dan hal itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang juga senada dengan sabdanya, “Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”.

Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada agama, padahal tidak ada dasarnya dalam agama sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya. Penisbahan itu baik pada masalah-masalah aqidah, maupun perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin. Mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu pada shalat tarawih.

Dalam hal itu Umar Radhiayallahu ‘anhu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Mereka juga berkata, “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya”. Adapun alasan terhadap hal ini adalah, bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan.

Dalam hal ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” yang dimaksud adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah” maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syariat. Hal ini karena bid’ah menurut syariat itu karena tidak ada dasarnya dalam syariat agam sebagai rujukannya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *