Dari Petisi 50 ke Petisi 100

Dari Petisi 50 ke Petisi 100
Soeharto
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Kehidupan partai dikontrol dengan ketat dan tidak ada politikus yang bisa menjadi ketua parpol tanpa restu Soeharto. PPP dan PDI dipimpin oleh orang-orang yang loyal kepada Soeharto.

Pemilu pun menjadi ajang demokrasi prosedural yang sudah didesain degan cermat. Dengan demikian, Golkar bisa menang mudah dan mutlak dalam setiap pemilu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Soeharto melakukan konsolidasi ideologi dengan membuat tafsir tunggal atas Pancasila untuk kepentingan politiknya sendiri. Soeharto memperkenalkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa sebagai pedoman politik dan ideologi Orde Baru.

Soeharto memonopoli Pancasila dan menjadikannya sebagai perisai untuk menghadapi lawan-lawan politiknya.

Memang Bung Karno memperkenalkan demokrasi terpimpin yang membawanya menjadi presiden yang otoriter. Namun, Soeharto justru mengulangi hal yang sama dengan memperkenalkan konsep ’Demokrasi Pancasila’ yang dalam praktiknya tidak mengandung demokrasi sama sekali.

Soeharto memakai Golkar dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai pendukung utama kekuasaannya. Dua institusi itu dijadikan sebagai pengawal utama Pancasila versi Soeharto.

Pancasila menjadi senjata yang dibuat sakral oleh Soeharto. Tidak ada seorang pun yang boleh mengritik Pancasila.

Kekecewaan terhadap Soeharto makin menggumpal dan memuncak. DPR sebagai wakil rakyat tidak berfungsi optimal.

Oposisi dalam berbagai bentuknya diberangus secara kejam. Media massa sebagai pilar demokrasi diawasi dengan ketat.

Di tengah situasi yang mencekam itulah 50 tokoh masyarakat mengeluarkan petisi yang diserahkan kepada DPR dan MPR. Isi petisi itu meminta supaya Soeharto mempertanggungjawabkan kebijakan politiknya di lembaga perwakilan rakyat itu.

Alih-alih mengadili Soeharto, DPR-MPR loyo dan tidak berdaya di depan penguasa Orde Baru itu.

Banyak pimpinan Masyumi yang menjadi penanda tangan petisi. Selain M. Natsir, ada Kasman Singodemedjo, Burhanudin Harahap, dan Sjafrudin Prawiranegara.

Tokoh politik Islam lain yang menjadi penanda tangan Petisi 50 ialah Anwar Harjono dan A.M Fatwa. Dari kalangan nasionalis ada S.K Trimurti dan Manai Sophiaan.

Dari kalangan militer dan polisi ada AH Nasution, Ali Sadikin, dan Hugeng Iman Santoso.

Para petisiwan itu kemudian diburu dan dipersekusi oleh Soeharto. Mereka dianggap sebagai dissident atau pembangkang karena mengritik Soeharto.

Siapa saja yang mengritik Soeharto berarti mengritik Pancasila. Risikonya ialah mereka dikucilkan dan jalur ekonomi mereka diputus.

Para petisiwan itu itu dicegah sehingga tidak diperbolehkan bepergian ke luar negeri. Pada era itu, Petisi 50 adalah gerakan politik oposisi paling besar yang pernah ada.

Kendati demikian, Soeharto bisa memberangusnya dengan cepat dan efektif, sehingga gerakan itu layu sebelum berkembang untuk kemudian mati.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *