Terbaru, kata Sholeh, mufaraqahnya Kiai Nurul Huda Jazuli dari Ploso (Kediri) dan terjadi saat dia menarik mundur putranya Gus Kautsar dari struktur PBNU hasil Muktamar Lampung 2021.
“Poros konflik Jakarta-Rembang vs Jombang-Kediri secara faktual membelah kekuatan Nahdliyin menjadi dua. Poros pertama, merepresentasikan PBNU. Poros kedua sebagai penopang utama PKB,” kata Sholeh.
Dia menegaskan sebelum dua poros ini mengembang dan membesar, tokoh-tokoh sepuh seperti Kiai Miftahul Akhyar (Rois ‘Am PBNU), Kiai Said Aqil Siraj (mantan Ketum PBNU), bahkan Wapres Ma’ruf Amin (mantan Rois ‘Am) idealnya turun gunung mengendalikan meredakan dan menyatukan kembali PKB–NU.
Menurut Sholeh, langkah ini sekaligus peringatan bagi tokoh-tokoh muda agar mereka sadar mandat dan amanat yang mereka emban.
“Turun gunung dalam ini adalah “pengambilalihan” kewenangan pilihan kandidat capres-cawapres dari tokoh-tokoh muda yang terbukti hanya mempersuram prospek politik nahdiyin,” ujarnya.
Sholeh menyebutkan pengambilalihan secara praksis bisa pula bermakna tokoh-tokoh sepuh mendorong dan menunjuk di antara mereka sebagai kandidat cawapres dari kaum nahdiyin.
“Toh, secara empiris Kiai Ma’ruf Amin sangat sukses menjadi pendamping Jokowi. Pemerintahan Jokowi di periode kedua, terbukti efektif, kuat, fokus, dan jauh dari turbulensi. Hal ini bisa dibaca dari kesuksesan Wapres Ma’ruf Amin menempatkan diri sebagai penyempurna Jokowi yang ‘gila’ kerja,” kata Sholeh.