NU, Kebangkitan Aswaja dan Gerakan Transnasional Agama untuk Perdamaian

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Majalah ekonomi internasional terkemuka The Economist pada edisi 16 Agustus lalu menurunkan esai dengan judul provokatif, Indonesia Wants to Export Moderate Islam.

Di salah satu paragrafnya, The Economist melaporkan, “Every Christmas since then, members of the country’s largest muslim group, Nahdlatul Ulama (NU), have gathered outside churches in Indonesia to ensure that Christians can worship in safety. Now the powerful islamic organisation has a more ambitious goal: to spread it’s moderate views across the muslim world.”

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Esai itu menggambarkan kondisi sejak awal 2000-an, ketika muncul berbagai ancaman kekerasan terhadap minoritas agama terutama pengeboman gereja-geraja. Gus Dur yang waktu itu Ketua Umum PBNU, menginstruksikan kepada Banser-NU untuk menjaga gereja setiap peringatan Hari Natal. Tugas itu, kini sudah berusia 22 tahun. Bersamaan dengan memasuki abad kedua di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU hendak mengekspor apa yang disebut Islam moderat dan toleran itu ke seluruh dunia.

Sementara itu, seorang wartawan terkemuka Amerika Serikat yang tinggal di Singapura, James Dorsey, menyoroti peran signifikan NU dalam mengusung Islam moderat. Dorsey mengikuti tiga event besar NU di level regional dan internasional, yaitu R-20, Muktamar Fiqh Peradaban, dan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialog Conference (ASEAN IIDC) pada 7 Agustus lalu yang dituanrumahi oleh Nahdlatul Ulama.

Jurnalis Amerika itu merilis podcast pada channel Youtube miliknya The Turbulent World James Dorsey.net dengan judul Indonesia Pushes a Civilizational Approach to Countering Polarisation. Kontra polarisasi itu lagi-lagi bukan hanya di dalam negeri Indonesia.

Meskipun dengan judul “Indonesia”, yang dimaksud oleh kedua tulisan itu ialah Nahdlatul Ulama.

Selama dua tahun terakhir di bawah kepemimpinan Gus Yahya, NU telah menyelenggarakan tiga event besar berskala regional dan internasional ASEAN plus yang menandai hari lahir NU sejak berdirinya dalam tahun Hijriah 16 Rajab 1344.

R-20 melibatkan agama-agama dan sekte-sekte serta kepercayaan di berbagai belahan dunia, bersamaan dengan kepresidenan G-20 Indonesia 2022. Muktamar Fiqh Peradaban melibatkan kelompok-kelompok dan aliran-aliran Islam di seluruh dunia bukan hanya dunia Islam.

Sementara itu, ASEAN IIDC pada 2023 dengan lingkup ASEAN Plus termasuk negara-negara maju yang melakukan kerja sama dengan ASEAN.

Kedua publikasi di atas, yang diwakili oleh The Economist dan Dorsey boleh jadi menandai perluasan perhatian internasional terhadap apa yang dalam wacana hubungan internasional disebut sebagai aktor transnasional keagamaan (religious transnational actors, RTA) tentang Islam, tetapi dengan visi dan agenda toleran dan perdamaian. Sejauh ini perhatian terhadap RTA Islam cenderung didominasi oleh diskursus eksklusif dan ekstrem, bahkan penyeru kekerasan.

Kemunculan kelompok-kelompok transnasional yang mengusung isu sektarian berbasis teologis, ataupun agenda berdirinya Khilafah Islamiyah seperti Hizbut Tahrir, serta kelompok penyeru kekerasan, antara lain Jamaah Islamiyah, IS, dan Boko Haram, menjadi tantangan, bahkan ancaman bagi perdamaian global.

Di pusaran masalah ini, Nahdlatul Ulama dari Indonesia barangkali akan menjadi bagian dari RTA yang membawa visi toleran dan perdamaian. Bagi NU, ini ialah saat kebangkitan bersamaan dengan melangkah ke abad kedua dengan slogan “Merawat Jagad Membangun Peradaban.”

NU, Aswaja, dan Sunni

Dalam konteks RTA, NU sulit hanya untuk disebut kelompok Sunni. NU terlalu spesifik jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan Sunni yang lain. Banyak kelompok yang dijuluki Sunni justru menawarkan identitas politik Islam dan kekerasan. NU juga berbeda dengan kelompok-kelompok Sunni modern di berbagai negara di dunia yang meninggalkan turast, tradisi isnad dan ritual-ritual lokal karena dianggap bidah.

Posisi NU justru berpegang erat pada turats dan tradisi isnad dengan metodologi yang ketat, juga mengakomodasi ritual dan tradisi lokal serta ilmu pengetahuan modern. Dalam klaimnya sendiri, NU menyebut dirinya sebagai ahlussunnah wal jamaah an-nahdliyah (Aswaja an-Nahdliyah).

Sebelum kebangkitan Eropa, Aswaja ialah salah satu peradaban dunia. Aswaja menurun ketika Barat maju. Namun kini, Aswaja bangkit kembali. Aswaja NU dicirikan oleh metodologi ijtihad dalam menanggapi perubahan-perubahan di tengah masyarakat. Seluruh keputusan dan konsensus organisasi didasarkan pada perspektif agama melalui pelacakan terhadap literatur turats, metodologi para ulama klasik, berpegang pada isnad, serta ilmu pengetahuan modern. Termasuk, mengakomodasi tradisi dan ritual lokal serta perkembangan masyarakat modern pada umumnya.

Secara organisasi Aswaja an-Nahdliyah tidak didasarkan pada ideologi Islam modern. Ia lebih dekat dengan tasawuf dan jaringan tarekat, serta konsensus hubungan dengan kenegaraan dan lembaga-lembaga internasional. NU lebih didasarkan pada fungsi, apakah absah secara metodologi dan memberikan keleluasaan kepada aspirasi dan praktik keagamaan, khususnya Islam atau tidak. NU menolak pendasaran gerakan pada identitas keagamaan ideologis, melainkan berpegang pada konsensus nasional, regional, dan internasional.

Menerabas batas

Penyelenggaraan event regional dan internasional oleh NU ini, banyak menerabas batas-batas konvensional guna memperluas cakupan dan batasan identitas keagamaan yang mapan. Pada Muktamar Fiqh Peradaban 7 Februari 2023 di Surabaya, NU secara tegas tanpa reserve menerima secara syar’i eksistensi PBB sebagai mekanisme tata dunia perdamaian dan sebagai forum konsensus negara-negara bangsa. NU menerima hasil konsensus mereka tentang Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia, dan sekaligus menghapus imajinasi Khilafah Islamiyah.

Ijma NU terhadap konsensus internasional tersebut setara dengan konsensus NU atas eksistensi negara kesatuan RI dengan landasan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pada saat yang sama, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) sebagai organisasi yang menghimpun Dunia Islam atau negara-negara mayoritas muslim, masih mempersoalkan beberapa aspek substansi DUHAM yang dianggap bertentangan dengan syariah Islam.

Dengan demikian, Aswaja yang dipeluk NU berbeda dengan Sunni pada umumnya di berbagai negara termasuk gerakan-gerakan Islam lain di Indonesia. Pada kasus R-20 dan ASEAN IIDC, NU bahkan telah memperluas cakupan konsensus bukan hanya di antara kalangan NU dan muslim, melainkan juga agama-agama lain dalam usaha untuk mengikis agama sebagai basis politik identitas, senjata konflik, dan polarisasi masyarakat. Dari sisi ini, kehadiran NU dalam kancah internasional bukan hanya RTA Islam, melainkan juga RTA agama-agama.

Begitu juga dalam penyelenggaraan Muktamar Fiqh Peradaban. NU telah menstranformasi geopolitik, yang tidak hanya mendasarkan pada apa yang hingga hari ini dikenal dengan “Dunia Islam”, tetapi juga semua kelompok Islam di dunia. NU dalam muktamar tersebut tidak hanya mengundang perwakilan dari negara-negara mayoritas muslim, tetapi juga kelompok Islam dari negara-negara minoritas muslim, seperti Eropa dan Eropa Timur, Rusia, Tiongkok, India, Australia, dan Amerika Serikat.

Dengan demikian, kebangkitan Aswaja tidak harus dimaknai sebagai dakwah Islam Aswaja ke dunia internasional, tetapi yang lebih penting ialah misi pengikisan agama sebagai basis ideologi identitas politik, dan polarisasi agama-agama, serta identitas geopolitik yang berbasis pada agama tertentu.

Kekuatan lunak

Perluasan RTA dalam perspektif diplomasi kekuatan lunak (soft power diplomacy) menjadi kekuatan baru dalam ranah pengaruh Indonesia di arena internasional, bukan hanya didominasi oleh pemerintah, melainkan juga peran aktif kalangan masyarakat sipil. Itulah barangkali yang dimaksud Dorsey di atas sebagai kontrapolarisasi melalui gerakan sipil.

Namun, secara teoritis, kekuatan lunak bisa berhasil dengan baik oleh suatu negara, jika didukung oleh kekuatan keras (hard power), seperti militer dan ekonomi. Di bawah Presiden Jokowi, kekuatan militer dan ekonomi Indonesia menampakkan pengaruh besar, bukan hanya secara regional, melainkan juga di tingkat internasional. Oleh karena itu, kerja sama erat antara pemerintah dan NU, juga masyarakat sipil agama-agama yang lain, menjadi kunci bagi keberhasilan RTA, sekaligus pengaruh Indonesia secara internasional.

Dengan demikian, diplomasi kekuatan lunak melalui Islam toleran sebagai RTA, tidak cukup oleh pemerintah, tetapi harus melibatkan kalangan masyarakat sipil yang kuat. Oleh karena itu, visi dan pemikiran Aswaja an-Nahdliyah yang selama ini tenggelam di bawah bayang-bayang Sunni modern dan Syiah, juga sekularisme dari Barat, kemudian ikut mewarnai diskursus dan konsensus dunia untuk mengikis agama sebagai identitas politik dan polarisasi masyarakat.

Bagi pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri RI, diplomasi kekuatan lunak berupa Islam toleran dan misi perdamaian kerja sama dengan ormas-ormas Islam moderat dan toleran tidaklah baru. Pasalnya, hal itu telah dilakukan sejak maraknya terorisme, ekstremisme, serta ancaman kekerasan lainnya.

Namun, kini tantangannya bukan hanya terorisme dan ekstremisme, melainkan juga polarisasi masyarakat yang di atas permukaan lebih lunak, tetapi laten merasuk ke dalam relung kehidupan sosial politik dan budaya keseharian masayarakat. Situasi ini menjangkiti bukan hanya masyarakat Indonesia, melainkan juga diakui merasuk ke masyarakat di seluruh dunia.

Gerakan semacam itu, tentu saja, menuntut keberlanjutan, perencanaan, dan penguatan jaringan transnasional di seluruh dunia tidak pandang apa pun agamanya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *