Hikmah Pagi: Tentang Pendakwah yang Tak Amalkan Ilmunya

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Agama Islam tidak mengenal istilah saints, holy men, servants of God dan sejenisnya. Karena manusia tercipta dari tanah, ‘kesucian’ adalah selama-lamanya sebuah proses menjadi lebih baik.

Nabi Muhammad ﷺ saja pernah ditegur oleh Allah ﷻ karena tak acuh terhadap “Abdullah bin Ummi Maktum”, seorang tunanetra yang mendatangi Nabi pas beliau sedang sibuk mendakwahi pejabat ring satu Quraisy. Teguran ini diabadikan di dalam al-Qur’an sebagai pengingat, bahwa kesempurnaan mutlak hanya milik Allah jalla wa ‘ala.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Lantas, apakah tepat jika kita menuntut setiap pendakwah, ustadz, penasehat untuk memiliki pribadi sempurna?

Selama ajakan dan nasehat itu baik, sejalan dengan cita-cita al-Qur’an dan sunnah, seyogianya kita dengarkan dan ambil manfaatnya.

Adapun jika ajakan tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, datangnya dari seorang profesor doktor triple Ph.D sekalipun, maka kita abaikan dan tinggalkan. Sebagaimana bunyi sebuah riwayat profetik:

لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق

“Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Tuhan” (HR. Bukhari)

Dalam kasus pendakwah yang jarkoni (iso ujar, tapi ora iso nglakoni) alias menyampaikan dakwah tanpa pernah melakukan sendiri apa yang disampaikannya, biasanya pihak pendengar mengajukan kritik dengan mengutip surah ash-Shaff ayat 3:

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Implikasi dari pembacaan skriptualistik pada ayat di atas adalah ‘menyurutnya’ jumlah individu yang pantas disebut guru, motivator, ustadz, pendakwah dan lain-lain –kalau tidak boleh mengatakan ‘tidak ada sama sekali’. Karena sebagaimana konsensus umat, satu-satunya manusia yang infallible, yang selalu selaras ide, ucapan dan perilakunya hanya Rasulullah ﷺ.

Maka sementara mufassir mencoba keluar dari pembacaan rigid tersebut dengan meninjau verba laa taf’alun yang merupakan bentuk mudhari’ (kata kerja keberlanjutan/kontinyu). Jadi penafsiran yang lebih tepat, “Allah benci jika kamu menasihati/mengajak kepada kebaikan, yang kamu sendiri enggan atau terus menerus melanggarnya”.

Menerima dakwah dan nasehat kebaikan dari siapapun sifatnya imperatif. Namun hipokrisi seorang agamawan pastinya akan berpengaruh pada tingkat penerimaan masyarakat dan impact-nya dalam sanubari.

Seorang penceramah boleh saja berapi-api mengajarkan sedekah, menjauhi kemewahan dan membenci dunia. Tapi apakah ajakan tersebut akan berbekas ketika para pendengarnya tau ia mengoleksi Harley Davidson dan Lamborghini?

🌐 Sumber: bincangsyariah.com​​​​

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *