Ancaman Politik Uang bagi Penyelenggara Pemilu

Ancaman Politik Uang
partai politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.id – Pemimpin yang memiliki legitimasi lahir dari pemilu yang berkualitas. Sayangnya, pemilu kita saat ini sangat terancam oleh politik uang (transaksional).

Tak hanya mengancam kandidat dan pemilih, tapi juga menjalar ke penyelenggara pemilu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pentingnya menjaga kemurnian suara pemilih. Oleh karena itu diperlukan perbaikan yang efektif dan tegas.

Pada tahun 2020, Bawaslu berhentikan 20 penyelenggara pemilu ad hoc yang melanggar aturan etik. Total ada 113 pengaduan terkait pelanggaran Kode Etik (bawaslu.go.id, 2020).

Baru-baru ini, data Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2022 mengonfirmasi potensi ancaman yang dihadapi para penyelenggara ad hoc tersebut. Mereka dikatakan termasuk kelompok yang rentan terhadap godaan politik uang.

Mereka yang dimaksud adalah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemutakhiran Data Pemilih Luar Negeri (Pantarlih LN), dan Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan.

Kabarnya, praktik umum kecurangan “para oknum” ini berkaitan dengan surat suara di lapangan. Ada utak-atik surat suara yang tidak terpakai, manipulasi hasil penghitungan, dan
lainnya.

Penyelenggaraan yang tidak jujur tentu bencana besar bagi pemilu kita. Hasil rekapitulasi diragukan, pemimpin yang terpilih berpotensi tidak mendapat legitimasi.

Imbasnya, nasib penyelenggaraan pemilu ke depan patut dipertanyakan. Padahal, pemilu yang merupakan pilar dalam demokrasi notabenenya adalah sarana kedaulatan rakyat.

Dipertegas Chua Beng Huat (Election as Popular Culture in Asia, 2007), “Melalui pemilu kita bisa memilih pejabat publik secara langsung yang sesuai dengan tujuan, ideologi, dan agenda kerjanya.”

Penyelenggaranya berarti pengawal suara/pilihan rakyat. Karena ide dan tugasnya yang luhur, tentu kita harus mengembalikan penyelenggaraan pemilu ke marwahnya: jujur dan adil.

Upaya dari hulu ke hilir

Nasi belum menjadi bubur. Masih banyak upaya yang bisa dilakukan untuk itu. Mulai dari hulu, menyoal perekrutan. Junjung tinggi transparansi pendaftaran dan penerimaan melalui uji kelayakan berbasis sistem komputer.

Standar kelulusan dengan nilai tertentu mutlak menjadi prasyarat. Siapa pun mereka yang lolos kelak, adalah mereka yang terbaik karena memenuhi standar. Tes psikologi tak boleh terlewati. Dari situ akan terbaca kecenderungan sifat pendaftar.

Saringlah mereka yang penyabar dan tahan godaan, bukan individu egois yang hanya akan menjadi penghambat/pengacau.

Dari sisi pendaftar, mereka perlu paham tanggung jawab dan konsekuensi menjadi penyelenggara ad hoc pemilu.

Upah yang terbilang minim dan beban kerja cenderung besar. Terlebih, beban moral yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya untuk menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil.

Dengan pemahaman ini, mereka yang berorientasi pada uang dan mengira pekerjaan ini adalah “lahan basah”, baiknya mundur dengan sadar diri.

Selanjutnya, pengawasan terhadap kinerja para penyelenggara perlu diatur. Memperbanyak mata dengan memperluas jaringan kerja sama dengan LSM dan organisasi masyarakat sipil lain.

Penyelenggaraan perlu diawasi dengan ketat secara berjenjang mulai dari desa, kecamatan, dan seterusnya. Pun pengawas dari Bawaslu.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *