Resettlement, Bukan Relocation

Resettlement
M. Jehansyah Siregar, Ph.D, (Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan/ SAPPK ITB sejak tahun 1995 dan tergabung dalam Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman/KKPP ITB)
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Resettlement atau Pemukiman Kembali berarti pemindahan sebuah permukiman berikut komunitasnya secara utuh dari satu tempat ke tempat lain dengan upaya peningkatan kondisi kehidupan yang lebih sejahtera. Baik secara lingkungan tempat tinggal maupun secara sosial dan ekonomi. Dari kondisi semula yang tidak diinginkan oleh masyarakat terdampak (involuntary) karena adanya rencana investasi, sedemikian sehingga menjadi sukarela (voluntary) karena adanya rencana tempat tinggal dan kehidupan yang lebih baik. Sedangkan Relocation berarti pemindahan dari satu tempat ke tempat lain tanpa adanya rencana dan bantuan program yang memadai dan bersifat tidak sukarela (involuntary).

Pemukiman kembali sudah pasti ada relokasinya, namun relokasi belum tentu mencapai taraf pemukiman kembali. Melalui penerapan skema resettlement, pemerintah otomatis menjalankan konstitusi dan menempatkan urusan permukiman penduduk tidak kalah pentingnya dari urusan investasi dan pembangunan. Menerapkan resettlement sudah pasti menyejahterakan penduduk terdampak, sedangkan rencana investasi belum langsung menyejahterakan penduduk. Apalagi jika investasi dijalankan dengan asas kapitalistik yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa. Persoalannya, pemerintah menyangka investasi itulah amanat konstitusi, padahal hak bermukimlah yang menjadi amanat UUD 1945.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kegagalan pemerintah dalam menangani urusan perumahan dan permukiman penduduk ini bukan hanya kejadian di Rempang dan Galang. Sampai sekarang pemerintah terus membiarkan berpuluh-puluh juta warga menghuni kawasan permukiman kumuh yang sangat tidak layak. Target kota-kota bebas kumuh pada tahun 2019 yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015 terbukti gagal. Angka housing backlog dan permukiman kumuh malah bertambah. Berbagai kasus permukiman penduduk seperti di Cianjur, Plumpang dan tempat-tempat kumuh lainnya belum juga kunjung tuntas. Begitu juga beberapa program perumahan rakyat yang dibawa para politisi, tidak ada yang efektif.

Pemerintah selalu abai untuk membangun sistem penyediaan perumahan dan permukiman atau housing delivery system dan human settlement development yang baik. Berbagai konsep hanya dijadikan wacana seminar di kalangan pejabat tinggi. Padahal, hanya dengan membangun sistem yang handal sajalah pemerintah mampu memenuhi perumahan rakyat dan menangani permukiman penduduk secara efektif dan progresif. Artinya, hingga saat ini pemerintah tidak membangun sistem. Mengapa? Karena membangun sistem berarti mengurangi KKN. Sedangkan pemerintah lebih suka menjalankan proyek-proyek tanpa sistem yang komprehensif, hanya bersifat populis dan menghabiskan anggaran saja.

Kegagalan pemerintah dalam soal perumahan dan permukiman penduduk, khususnya melalui Kementerian PUPR dan ATR, sudah tampak jelas. Tidak ada percontohan penerapan skema resettlement hampir di semua proyek pembangunan yang berdampak pada permukiman penduduk. Padahal sejak sekitar 10 tahun lalu Bank Dunia sudah memberi capacity building program dalam skema resettlement di DKI Jakarta dalam rangka pembangunan Kanal Banjir Timur. Mulai dari materi Resettlement Policy Framework (RPF) hingga materi Land Acqcuisition and Resettlement Action Plan (LARAP). Mengapa DKI Jakarta tidak sungguh-sungguh? Karena memang tidak ada dorongan dari Kementerian PU dan Kemenpera (saat itu) agar Pemda menerapkan skema Pemukiman Kembali.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *