Kejanggalan dan Indikasi Pelanggaran Hukum: Rempang Eco City Wajib Batal

Rempang Eco City Wajib Batal
Rempang Eco City
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Hajinews.co.id – Proyek Rempang Eco City dikebut. Kejar tayang. Sampai nabrak peraturan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

1. Proyek investasi di Rempang mulai diangkat kembali oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) pada 2015. Kemudian dibahas cukup intens selama periode 2016-2021 oleh pemerintah pusat. Apa daya, payung hukum ketika itu sangat pelik untuk bisa memberi konsesi pengelolaan lahan satu pulau Rempang kepada investor. Karena, status kawasan pulau Rempang seluas sekitar 17.000 hektar merupakan hutan konservasi Taman Buru, dan hutan lindung.

2. Sebagian hutan Taman Buru kemudian dialihkan menjadi hutan produksi konversi pada 6 Juni 2018. Luasnya sekitar 7.562 hektar. BP Batam berharap diberikan hak pengelolaan lahan (HPL) atas kawasan tersebut. Tujuannya, agar dapat memberikan hak pengelolaan lahan kepada investor, yaitu PT MEG.

3. Di sini timbul kejanggalan pertama. Apa dasar persetujuan pengalihan atau pelepasan kawasan hutan taman buru tersebut. Apakah sudah ada hasil penelitian dari tim terpadu, sesuai ketentuan peraturan dan UU yang berlaku? Dan, kalau ada, bagaimana publik bisa akses terhadap dokumen hasil rekomendasi tim terpadu tersebut? Kalau tidak ada, berarti pengalihan kawasan hutan tersebut ilegal.

4. Karena, pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, bahwa perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasarkan hasil penelitian terpadu (ayat 1), dan untuk cakupan yang luas serta bernilai strategis harus dengan persetujuan DPR (ayat 2). Apakah Menteri Kehutanan sudah memenuhi semua ketentuan perundang-undangan ini?

5. Meskipun begitu, dasar hukum untuk mengubah peruntukan kawasan hutan produksi menjadi lahan komersial masih terkendala, sehingga belum dapat diberikan kepada investor, dalam hal ini PT MEG.

6. Pemerintah kemudian menerbitkan UU (Omnibus Law) No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020. Klaster Kehutanan mengatur Penggunaan Kawasan Hutan untuk keperluan komersial, yang sebelumnya tidak bisa.

7. Pasal 38 UU Cipta Kerja memberi fasilitas untuk itu. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan (di luar kegiatan kehutanan) dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (ayat 1), tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Luar biasa saktinya UU Cipta Kerja!

8. Asal, pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Seperti diatur di dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang ditandatangani Jokowi pada 2 Februari 2021. Antara lain untuk kegiatan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (pasal 91 butir c), dan industri selain Pengolahan Hasil Hutan (pasal 91 butir i). Peraturan Pemerintah ini sangat sakti!

9. Butir terakhir ini, pada dasarnya, menyatakan bahwa semua kegiatan industri bisa masuk kawasan hutan tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Asal, kegiatan tersebut mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Sangat sakti.

Apa arti tujuan strategis?

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar