Disway: Bambu Ijuk

Bambu Ijuk
Bersama Jatnika, ahli bambu Sunda.--
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



“Saya sudah membangun lebih 1.500 rumah bambu. Di 26 negara,” ujar Jatnika. Ia baru pulang umrah ketika saya ke sana. Bersama istrinya.

Rumah bambu terakhir yang ia bangun di Ukraina. Di ibu kota Kiev.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sebelum perang. Sebelum Covid-19.

Waktu itu duta besar kita di sana adalah Prof Dr Yudi Latif. Intelektual-budayawan. Ahli Pancasila. Ketika pemerintah Ukraina membangun kawasan budaya internasional di Kiev, Indonesia ikut. Dubes Yudi menawarkan rumah bambu khas Indonesia. Sekaligus lima rumah: berbentuk rumah Jawa, Minang dan lumbung khas daerah.

“Saya hampir setahun di sana. Setelah jadi, yang meresmikannya empat kepala negara. Dari Indonesia Wakil Presiden Jusuf Kalla,” katanya.

Dari semua bambu yang ada, saya tertarik satu jenis. Belum pernah saya dengar namanya: Bambu Ampel. Hijau dan kuning. Besar dan tingginya sama dengan bambu ori yang berduri-duri itu. Tidak sebesar petung, tidak sekecil apus.

“Tanamnya mudah. Tumbuhnya cepat,” kata Jatnika.

Nama Ampel disodorkan Jatnika saat saya bertanya: jenis bambu apa yang paling cepat tumbuh. Yang mestinya cocok untuk dikembangkan sebagai bahan baku biomas.

Saya pun minta diantar ke rumpun bambu Ampel. Yang hijau. Tempatnya di bibir Citarum. Satu rumpun ini saja berisi lebih 50 batang. Rimbun.

Saya ingin mencoba menanamnya. Membuktikannya. Apakah benar lebih cepat berkembang. Kalau tidak, pasti kalah dengan petung. Yang dinding batangnya tebal sekali. Ampel tidak setebal petung.

Maka saya minta didongkelkan satu bonggol bambu Ampel. Mendongkel bambu tidak tergolong melawan hukum. Bambu tidak punya kekuasaan.

Usai menghadiri ultah Pak Luhut, bonggol itu saya bawa terbang ke Surabaya. Aman. Pagi harinya saya tanam di Pacet, pegunungan Mojokerto. Tanah lagi kering. Hujan belum juga datang. Sang bonggol harus membuktikan dirinya sebagai makhluk yang mudah ditanam.

Di situ saya juga membeli tali ijuk. Yang warna hitam itu. Jatnika ternyata juga membina perajin tali ijuk. Bangunan bambu memang hampir tidak bisa dipisahkan dari tali ijuk.

“Bambu itu laki-laki. Kaku tapi lemes. Ijuk itu perempuan. Mampu mengikat bambu sampai lengket,” katanya.

Sejak kecil saya ingin jadi bambu. Sejak saya sering tidur di bawah rumpun bambu, sambil mengawasi domba yang saya gembala. Tapi tidak ada ijuk di sana saat itu.(Dahlan Iskan)

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *