Politisasi Agama
Politisasi agama berbeda dari politik identitas. Jika para filsuf Barat berbeda-beda dalam mendefinisikan makna politik identitas itu adalah maklum, karena mereka berangkat dari akal rasional murni. Berbeda dengan umat beragama, apapun agamanya, berangkat dari dasar yang sama; keimanan pada Tuhan.
Namun, politisasi agama juga harus dilihat dari konteksnya. Di sebuah negara yang sekuler, politisasi agama tidak diizinkan. Sebaliknya, di sebuah negara yang bertuhan dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, politisasi agama dibedakan menjadi dua jenis: pertama, mobilisasi politik yang didasarkan pada nilai universal agama, dan kedua, mobilisasi politik yang didasarkan pada nilai partikular agama.
Indonesia sebagai sebuah negara bersepakat bahwa nilai universal agama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Selebihnya dianggap sebagai partikular. Karena, umat Hindu, Buddha, Islam, Kristen dan Konghucu dibenarkan untuk memobilisasi politik untuk tujuan mempertahankan nilai universal bersama, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebaliknya, masing-masing umat beragama tidak akan dibenarkan melakukan mobilisasi politik yang didasarkan pada nilai partikular masing-masing agama berbeda. Karenanya, founding fathers bersepakat membuang 7 kata dalam Piagam Jakarta, karena dinilai terlalu partikular, sehingga disepakati Ketuhanan Yang Maha Esa karena dianggap universal.
Dalam konteks umat Islam Indonesia, ajaran Islam juga terbagi menjadi dua macam: Ushul (universal) dan Furu’ (partikular). Contoh Ushul, kewajiban shalat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu. Selebihnya adalah partikular. Memperjuangkan tegaknya ajaran-ajaran universal Islam melalui mobilisasi politik dapat dibenarkan. Tetapi, mobilisasi politik ajaran partikular Islam adalah bentuk politik identitas.
Sebagai penutup, penulis kutip sebuah buku yang ditulis oleh intelektual muslim kelahiran Mesir dan berkarir di Virginia, Amerika, yaitu Jasser Auda. Menurutnya, umat muslim hanya boleh memasukkan hal-hal yang sudah ijma’ qath’i dalam mobilisasi politik, tetapi tidak hal-hal yang khilafiah zhanni. (*)