Hajinews.co.id — Presiden Jokowi disebut punya kemiripan dengan Soeharto di akhir-akhir masa jabatannya sekarang ini.
Muncul di Pilpres 2014, Jokowi hadir sebagai sosok yang populis dan dicintai banyak rakyat usai berhasil mencuri hati rakyat saat memimpin Solo dan Jakarta.
Gaya kepemimpinannya yang unik membuatnya menang sebagai Presiden terpilih ke-7 menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono.
Perjalanannya tidak singkat, Pilpres 2019 ia kembali menang dengan mengalahkan Prabowo Subianto, yang juga lawannya di 2014, sebagai petahanan Jokowi berhasil kembali merebut hati rakyat.
Namun, mantan Pimpinan Redaksi Tempo, Goenawan Muhamad mengungkap bahwa dirinya kecewa dengan sosok pemimpin asal Solo itu.
Ia tidak mengelak dan mengakui bahwa dirinya adalah pendukung Jokowi hingga berhasil menang 2 periode.
“Saya tak pernah lupa saya, di umur yang tak lagi muda, berjalan kaki siang hari bersama rombongan pedagang kaki lima pendukung Jokowi, dari Dukuh Atas sampai di depan Istana Merdeka, buat menyambut terpilihnya Jokowi,” ucapnya menceritakan, dikutip Suara Denpasar dari Suara.com pada Sabtu, (14/10/2023).
“Saya bangga, sebagaîmana banyak orang, pemerintahan ini tampak akan berakhir dengan gemilang. Negeri aman, ekonomi tumbuh, banyak fasilitas dibangun untuk rakyat,” lanjutnya.
Namun, menurut Goenawan di akhir masa jabatan Jokowi sebagai presiden justru malah mirip Soeharto, dengan melakukan beberapa tindakan yang menurutnya hampir sama.
“Presiden Jokowi sebagaimana saya temukan sedikit demi sedikit-melakukan apa yang dilakukan Suharto: memberi perlakuan istimewa bagi anak-anaknya,” ungkapnya.
Eks Pimpinan redaksi Tempo itu menyoroti sosok Gibran, anak Presiden Jokowi yang sekarang tengah menjabat sebagai Wali Kota Solo mengikuti jejak sang ayah.
“Gibran mungkin wali kota yang baik, tapi ia tak tertandingi karena tak pernah ada pertandingan. Ia juara yang tak sejati. Dan lebih buruk lagi, rasa keadilan dilecehkan, aturan yang disepakati dikhianati,” terangnya.
Mantan pendukung Jokowi itu mengaku cemas, namun juga tak putus asa dan berharap yang terbaik untuk Indonesia kedepannya.
“Saya cemas. Tapi saya punya harap,” pungkasnya.
Berikut kutipan lengkap pernyataan tersebut:
Banyak sekali pertanyaan, benarkah saya yang menulis sebuah statemen tentang pemerintahan Presiden Jokowi — tulisan yang ditandatangani “Gunawan Muhammad”.
Itu bukan nama saya. Nama saya “Goenawan Mohamad”. Dalam paspor ada tambahan “Susatyo”.
Tapi saya memang pendukung Jokowi. Bukan hanya pendukung yang pasif. Saya misalnya ikut berkampanye sampai malam di Sukabumi, ikut mengorganisir rapat umum di Jakarta, menulis teks digital maupun bukan , menyelenggarakan tujuh malam musik dan pertunjukan di Komunitas Salihara bersama banyak sekali seniman —bahkan ikut menyumbangkan dana.
Saya tak pernah lupa saya, di umur yang tak lagi muda, berjalan kaki siang hari bersama rombongan pedagang kaki lima pendukung Jokowi, dari Dukuh Atas sampai di depan Istana Merdeka, buat menyambut terpilihnya Jokowi lagi di tahun 2015.
Kini di tahun 2023, kepresidenan Jokowi akan berakhir — dan saya bangga, sebagaîmana banyak orang, pemerintahan ini tampak akan berakhir dengan gemilang. Negeri aman, ekonomi tumbuh, banyak fasilitas dibangun untuk rakyat.
Saya berdoa agar rasa bangga itu berlanjut, agar Indonesia, negeri dengan sejarah yang berbekas luka ini, memiliki pemimpin tauladan: jujur, bekerja keras, dekat dengan rakyat, jauh dari mengejar harta dan kuasa untuk diri dan keluarganya. Dalam sebuah interview tahun 2022 di Tokyo saya mengatakan Jokowi presiden terbaik dalam sejarah Indonesia sampai sekarang.
Tapi di tahun 2023, saya diingatkan kearifan klasik, bahwa seorang pemimpin yang dipuja dan dipuji adalah seorang manusia yang digoda. Kekuasaan dan pujian itu madat bagi orang yang di atas tahta, dan orang gampang mencandu kepadanya.