Survei, Realitas dan Pragmatisme Kita

Survei dan Realitas
Darmawan Sepriyossa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Yang paling aktual adalah survei LSI. Peneliti LSI Djayadi Hanan memaparkan, hasil survei yang digelar 2-8 Oktober 2023 itu mencatat  Prabowo kembali unggul di angka 37 persen, Ganjar Pranowo di 35,2 persen. Sementara Anies Baswedan paling buncit, yakni pada 22,7 persen.

Anies sendiri tampaknya woles-woles saja dengan angka-angka itu. Usai berdialog dengan warga di salah satu kafe di Purwakarta, awal Oktober lalu, Anies akhirnya mengomentari hal tersebut. “Kami menghormati mereka yang menyelenggarakan survei. Kami memiliki optimisme yang tinggi, apalagi kami merasakan apa yang terjadi di masyarakat. Jadi kami paham, mereka perlu mencari nafkah,” kata Anies.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Tetapi tak urung perbedaan angka hasil survei dengan realitas yang dilihat rakyat di lapangan itu pun memunculkan syak wasangka. Mungkinkah lembaga-lembaga survei telah berbohong?

Bisa ya, mungkin pula tidak. Namun peluang tersebut bukan tidak ada, kalau tak bisa dikatakan begitu terbuka. Ada sebuah buku yang sangat laris di paruh kedua abad 20, bercerita tentang statistik, “How to Lie with Statistics” (1954), tulisan Darrell Huff.

Meski bukan seorang ahli statistika dan ‘hanya’ seorang jurnalis, buku itu tak hanya laris terjual jutaan copy pada masanya, melainkan juga menjadi buku tentang statistika yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah. Bahkan, pada 1960-an dan 1970-an, buku ini menjadi buku teks standar pengantar statistika bagi mahasiswa di barat.

Kalau memang ada ‘dusta di antara kita’, tidakkah dengan begitu kita bisa bilang bahwa saat ini telah berkembang sikap Machiavellian dalan kehidupan kita? Atau mungkin para ahli survei itu tiba-tiba menjadi kaum nihilis yang bilang bahwa karena hidup tak berarti apa-apa, hidup pun sekaligus boleh melakukan apa-apa. Semua boleh dilakukan atas nama tidak berartinya hidup.

“Kadang-kadang,” kata Machiavelli, sang penulis “Il Principe” yang sering dikaitkan sebagai buku manual para tiran dan diktator itu, ”kata harus jadi tabir beragam fakta.” Jelas, Machiavelli memang menghalalkan tipu daya. Dusta, bagi mereka tak lain senjata bagi setiap perang dan sengketa. Segera kita pun teringat Menteri Propaganda Nazi Jerman, Joseph Goebbels di era Hitler, ”Jika Anda berbohong besar dan terus mengulanginya, orang-orang pada akhirnya akan mempercayainya. Kebenaran adalah musuh bebuyutan kebohongan, dan dengan demikian, kebenaran adalah musuh terbesar negara.”

Tetapi kalau Anies bisa memaklumi dengan bilang, “Jadi kami paham, mereka perlu mencari nafkah”, kalimat itu tentu hanya boleh ia ucapkan manakala dirinya masih ‘bukan siapa-siapa’. Sesegera ia menjadi penerima amanah rakyat, ia tak bisa lagi menoleransi praktik kebohongan –bila ada– yang dilakukan telanjang dengan korban sekian banyak warga. Ia harus menghentikan praktik culas itu, bila memang ada.

Apa pun hujjah-nya –bahkan kalau pun mengatakan bahwa kita kini telah berada di era Post-Truth yang penuh dusta dan fitnah– kebohongan, apalagi yang mengorbankan publik, harus dimusnahkan. Nurani kita seharusnya masih sanggup untuk mempertanyakan mereka yang bilang bahwa dalam post-truth era, kebenaran sudah tak relevan lagi dalam komunikasi.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *