Survei, Realitas dan Pragmatisme Kita

Survei dan Realitas
Darmawan Sepriyossa
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Umumnya, mereka ini kalangan yang menjadikan kesedihan Ralph Keyes, pengarang “The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life” saat berkata, “Kita hidup di sebuah lingkungan yang tak punya cukup penangkal bagi kecenderungan kita mengelabui orang lain”, sekadar kalimat tanpa hati. Sebaliknya, kita masih sadar bahwa para pendiri bangsa memimpikan negara ideal itu lebih seperti ‘baldatun toyyibatun wa robbun ghafur’. Bukan hanya komunitas besar nation-state yang kenyang makan dan cukup sandang-papan. Kebenaran, bagaimanapun tetaplah harus menjadi matahari dan penerang kemana bangsa harus melangkah.

Bila ada kilah bahwa semua itu wajar di era profesionalisme yang pragmatis, kita juga jadi perlu bertanya, apakah pragmatisme itu tak lain sekadar eufimisme dari ‘keharusan dan kesediaan untuk main curang’?

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sementara di Barat sana, pada sekitar masa pra-Malaise, pernah berlangsung ‘gerakan pembasmian’ pragmatisme. Pragmatisme, filsafat yang diawali pertengahan paruh kedua abad 19 oleh William James, John Dewey dkk itu memang tak kekurangan pengecam, karena seolah ‘menolak moralitas yang universal, dan menggantikannya dengan ukuran lain’. Pragmatisme, menurut pengecam yang sangat sohor kemudian, Julien Benda, seperti menggariskan bahwa “kemauan manusia baru bernilai moral sepanjang itu kemauan untuk power (kekuatan, kekuasaan)”.

Julien Benda, lewat bukunya yang bergaung kencang sampai ke era anak-anak milenials bahkan generasi Z, “La Trahison des Clercs” atau “Pengkhianatan Kaum Intelektual”, melaknat fakta manakala moralitas ditekuk-tekuk seenaknya hanya buat kepentingan sesaat, sementara para cendekiawan tak hanya menutup mata dan pura-pura tidur, melainkan juga menceburkan diri ke dalam praktik degil, yakni pemujaan terhadap aktivitas praktis demi keuntungan (materi) tersebut.

Lebih jauh, Benda bahkan mengkritik para cendikiawan jenis itu sebagai “… spesies yang menyebabkan Socrates dan Yesus Kristus mati.”

Sebenarnya, bagi cendikiawan kita, teguran terhadap kemungkinan salah langkah itu tak harus menengok peradaban sebelah. Dari khazanah tamadun Islam sendiri wanti-wanti itu sudah ada. Teguran agar para ulama-cendikiawan tak menjadikan al-fulus sebagai prioritas tujuan aktivitas.  Ada Abu Rayhan Ibn Ahmad al-Biruni (973-1048), yang menegur para intelektual agar menghindari pikiran over-pragmatisme itu. “Kita harus membersihkan pikiran kita,” kata Al-Biuni,”.. dari semua hal yang membutakan orang pada kebenaran, yakni adat lama, semangat kelompok, gairah dan persaingan pribadi, juga niat untuk berpengaruh.”  Tak mudah (untuk) menjadi seorang cendikiawan, memang.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *