Kultum 246: Efek Islamofobia pada Pemuda Muslim

Efek Islamofobia
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Mungkin, situasi yang dialami kaum muda Muslim di seluruh dunia di jaman ultra moderen ini persis dengan apa yang telah digambarkan Rasulullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ

عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

Artinya:

Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api (HR. Tirmidzi no. 2260).

Beberapa sumber media Islam mengingatkan bahwa selama berabad-abad, umat Islam telah berkontribusi dalam bidang kedokteran, filsafat, arsitektur, dan lain-lain. Namun dengan adanya Islamofobia, Islam telah “diberitakan dan dibuat” untuk dianggap tidak rasional, penuh kekerasan, dan tidak sesuai dengan peradaban modern. Islamofobia juga menempatkan pemuda Muslim di berbagai negara pada posisi dan sikap defensif.

Salah satu dampak Islamofobia yang sering kita remehkan adalah efek negatifnya pada pemuda Muslim yang merasa ‘mengalami’ berbagai serangan terhadap keyakinan mereka. Berikut ini 5 masalah yang dialami Pemuda Muslim di negeri-negeri berbagai belahan bumi yang berhasil dirangkum oleh beberapa media tersebut.

Pertama, ‘Rasisme’ yang terinternalisasi (tertanam dalam jiwa). Pesan rasis dan stereotip yang tersebar di masyarakat kita mempengaruhi pemuda Muslim dengan cara yang sering tidak disadari, terutama ketika menyangkut anak muda. Rasisme yang terinternalisasi adalah masalah serius, di mana anggota minoritas mengadopsi stereotip diskriminatif yang mereka dengar dari orang lain tentang kelompok mereka sendiri.

Sebagai contoh, 1 dari 3 anak Muslim berusia antara 5-9 tahun ‘tidak ingin’ memberi tahu orang lain bahwa mereka Muslim. 1 dari 2 anak Muslim ‘tidak tahu’ apakah mereka bisa menjadi Muslim dan negara moderen. Bahkan berdasarkan penelitian, 1 dari 6 anak Muslim terkadang berpura-pura bukan Muslim.

Kedua, mereka mengalami “Kebingungan Identitas”. Pemuda Muslim cenderung membedakan antara berbagai ‘tingkat Muslim’, berdasarkan simbol-simbol agama dan religiusitas. Jilbab, misalnya, sering terlihat dalam spektrum antara ekstrem, liberal, atau sekadar bersikap religius.

Pemuda Muslim juga lelah karena harus terus-menerus membuktikan ‘ke-Muslim-an’ mereka kepada ‘Muslim’ lain, dan kadang sikap ‘keBaratan’ mereka kepada orang lain. Hal ini sering menyebabkan kaum muda merasa harus memilih salah satu dari kedua sikap itu. Efek lainnya adalah berupa ‘isolasi sosial’ dalam diri, yang bisa jadi lebih parah dan menjadi ‘pengabaian’ nilai-nilai Islam.

Ketiga, timbul anggapan yang salah terhadap ‘Pengalaman Pribadi’. Hubungan manusia dengan Tuhan seringkali sangat mirip dengan hubungan pribadi dengan manusia. Manusia bisa merasa jauh dari atau bahkan trauma (seolah) terhadap Tuhan jika telah disakiti oleh (hubungan) orang-orang terdekatnya. Pengalaman buruk di masjid, atau orang tua yang kasar, dapat menjadi penguat pesan-pesan Islamofobia.

Wanita muda Muslim khususnya, menghadapi tekanan terbesar di masyarakat, namun merasa paling tidak diakomodasi di masjid yang mereka hadiri. Pemuda Muslim di negeri-negeri Barat, karena mayoritas pemuda di sana pergi ke gereja, sering mengalami hal seperti ini. Rasa sebagai menoritas memang turut memperbesar trauma seperti ini.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *