Sandiwara Dinasti

Sandiwara Dinasti
politik dinasti
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Yusuf Blegur

Hajinews.co.id – Jokowi dan Megawati telah menguras perhatian dan energi rakyat selama hampir 10 tahun ini. Keduanya sering memainkan mimik, gimik dan gestur seolah-olah telah terjadi konflik. Namun sesungguhnya, mereka sedang memainkan sandiwara atau drama politik dinasti yang langgeng selama bersamaan menikmati kekuasaan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Megawati telah mengunci Jokowi dihadapan publik dengan stempel petugas partai pada orang nomor satu di Indonesia. Mengandalkan jabatan ketua umum PDIP, Megawati memberi sinyal betapapun Jokowi telah menjadi presiden, ia tetaplah kader partai, petugas partai dan bahkan disebut-sebut pesuruh partai. PDIP terlalu banyak mengambil keuntungan melalui Jokowi sebagai presiden, tak kurang dari uang, jabatan dan popularitas kian bertambah dengan menunggangi mantan walikota Solo tersebut. Jokowi merasa berhutang budi pada Megawati, Megawati bersama PDIP merasa punya andil pada karir politik Jokowi, termasuk mengusung, menjadikan dan mengamankan Jokowi menjadi presiden hingga dua periode. Keduanya membangun hubungan simbiosis mutualisme, saling memanfaatkan, saling memengaruhi, dan saling mengelola pemerintahan hingga berdampak pada keberlangsungan NKRI.

Konstelasi dan konfigurasi politik nasional sempat terguncang saat Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi mendadak muncul sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon presiden besutan tujuh partai politik. Bukan karena kehebatannya, bukan karena prestasinya dan juga bukan karena kharismanya. Kemunculan Gibran sebagai cawapres, menghentak khalayak karena faktor pelanggaran konstitusi dan ketidakpantasan secara etika maupun norma-norma ketatanegaraan. Naiknya Gibran dalam panggung pilpres 2024 yang dikatrol lewat keputusan MK yang ketuanya ipar Jokowi. Telah menghancurkan Marwah UU dan DPR, semakin melengkapi kejahatan konstitusi yang selama pemerintahan Jokowi sering berlangsung.

Gibran yang belum genap 40 tahun dan masih menjabat walikota Solo, seakan meniru gaya dan kelakuan bapaknya yang loncat sana-loncat sini dalam jabatan publik yang belum usai periodenya, seperti haus kekuasaan. Gibran juga relatif masih bau kencur dan anak kemarin sore dalam politik yang dengan status anak presiden bisa mengalahkan beberapa ketua umum partai politik besar. Entah karena Gibran kelewat jenius atau para ketua umum partai politik itu yang terlalu pandir atau memiliki mental jongos. Mungkin semua gerombolan ketua umum partai politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan tersebut memang sudah saling terikat, saling tersandera dan saling menjaga keselamatan masing-masing. Padahal para ketua umum partai politik itu para doktor, berpengalaman makan asam garam politik dan memiliki kemapanan sosial ekonomi. Kasihan mereka, jadi manusia kerdil karena terganjal skandal dan pengasihan Jokowi.

Kembali ke Megawati dan Jokowi, meski keduanya punya capres dan cawapres yang dimunculkan Madinah-masing, akan tetapi secara struktur pemerintahan dan partai politik mereka tetap solid. Seakan-akan bertentangan dan pecah kongsi, baik Megawati maupun Jokowi serta irisan kekuasaannya dalam partai politik dan parlemen, tetap menunjukkan kebersamaan meski beda pilihan capres cawapresnya. Tak ada satupun partai politik koalisi pemerintahan yang menggugat atau menolak bahkan membatalkan keputusan MK tentang batasan minimal usia capres 40 tahun atau yang sudah pengalaman menjadi kepala daerah. Malah partai politik itu justru ramai-ramai mendukung Prabowo dan Gibran, Ganjar dan Mahfud MD sebagai capres-cawapres yang notabene menjadi bagian dari rezim kekuasaan , yang selama ini dianggap publik gagal, sarat distorsi dan destruktif terhadap demokrasi, konstitusi dan keselamatan NKRI.

Terlebih pada Megawati dan Jokowi, meskipun keduanya sekonyong-konyong bertikai, sejatinya mereka sangat akur walau tidak ditunjukkan terbuka dalam suasana menjelang pilpres. Validitas hubungan Megawati dan Jokowi dibilang konflik. sesungguhnya tidak berdasar dan sangat meragukan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa fakta sebagai berikut:

1. Megawati tidak memecat Jokowi dan Gibran dari kader dan keanggotaan PDIP meski tidak mendukung kebijakan PDIP memilih Ganjar-Mahfud MD.

2. Megawati dan PDIP tidak menarik seluruh anggota dan kader PDIP dari semua jabatan pemerintahan yang dipimpin Jokowi.

3. Sebagai ketua DPR RI yang menjadi kader dan anggota PDIP sekaligus anak kandung Megawati, Pusn Maharani tidak mengajukan dan memimpin sidang impeachmen atau pemakzulan Jokowi di DPR.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *