Negara Adalah Saya

Negara Adalah Saya
Ikrar Nusa Bhakti
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti LIPI 1984-2017

Hajinews.co.id – RAJA Louis XIV dari Prancis pernah menyatakan kepada anggota Parlemen Paris pada 13 April 1655, L’etat c’est moi (negara adalah saya). Louis XIV merupakan penguasa absolut yang menganggap dialah penguasa tunggal yang harus dipatuhi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pernyataan tersebut menyulut gerakan perlawanan rakyat terhadap sang raja yang absolut dan menimbulkan Revolusi Prancis dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukanlah penguasa absolut seperti Raja Louis XIV. Indonesia juga bukan negara kerajaan, melainkan merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik. Namun, menjelang setahun berakhirnya pemerintahannya, kini ia sedang menikmati kekuasaannya yang berlebih.

Ibarat raja Jawa masa lalu, kekuasaannya bulat dan tidak terbagi-bagi. Tidak ada matahari kembar. Tidak ada yang berani menentang dan mengkritiknya, kecuali kelompok masyarakat akademis, masyarakat kewargaan, para netizen, dan influencer yang dulu ialah para pendukungnya.

Court-politics

Tampaknya Presiden Jokowi kini sedang mengalami psikologi politik, betapa independennya dia dari parlemen, ketua umum partainya, lembaga yudikatif, dan eksekutif. Dia sedang merasa di atas lembaga trias politika yang ada.

Dia sedang mengalami situasi seperti di Eropa pada masa lalu, yakni court-politics. Ciri-ciri dari court-politics ialah, pertama, ucapannya merupakan hukum itu sendiri (sabda pandita ratu). Ia bisa mengatur hukum sesuai dengan keinginannya seperti yang terjadi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Kedua, para pejabat tidak berani menentang atau memperingatkannya karena mereka takut di-reshuffle atau digeser. Ketiga, tidak ada pejabat yang berani menggalang kekuatan untuk menyainginya karena takut ada pejabat lain yang melaporkannya kepada sang penguasa.

Keempat, para pejabat bersaing untuk dekat kepadanya agar jabatan mereka aman atau mendapatkan kekuasaan tambahan darinya. Kelima, pengambilan keputusan yang dibuatnya tidak lagi atas dasar dialog atau diskusi dengan orang-orang dekatnya, baik di kabinet maupun pejabat sipil-militer lainnya, tetapi bergantung pada siapa yang ia dengar. Pembisik itu belum tentu pejabat yang dekat dengannya, melainkan orang-orang yang tidak memiliki jabatan resmi.

Masih haus kekuasaan

Bagi Presiden Jokowi, tampaknya, masa jabatan presiden dua periode terasa kurang. Karena itu, orang-orang kepercayaannya berupaya untuk melakukan rekayasa hukum dan politik agar ia bisa tiga periode, atau paling tidak dapat tambahan dua tahun. Ia kehilangan dua tahun masa kekuasaannya karena dunia, termasuk Indonesia, mengalami pandemi covid-19.

Sebagai presiden yang berkuasa hampir 10 tahun, ia seakan lupa bahwa kekuasaannya memang harus dibatasi dua periode. Lalu, bagaimana supaya ia tidak mengalami post power syndrome, maka dilakukanlah rekayasa-rekayasa hukum dan politik agar sang anak dan menantu bisa mendapatkan kekuasaan politik.

Awalnya anak pertamanya, Gibran Rakabuming Raka, diusulkan ke PDIP agar bisa menjadi Wali Kota Solo, tentunya melalui rekayasa politik yang amat kasatmata. Sang menantu, Bobby Nasution, diusulkan ke PDIP juga agar bisa menjadi Wali Kota Medan.

Langkah lanjutannya, menjelang Pemilu 2024, rekayasa menjadikan Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapresnya Prabowo Subianto, baik melalui rekayasa hukum lewat MK maupun rekayasa politik melalui partai-partai Koalisi Indonesia Maju di bawah Prabowo. Mengapa ketua-ketua parpol koalisi Prabowo mengamininya? Kabarnya, mereka ingin mendapatkan efek ekor jas agar partainya mendapatkan suara yang banyak untuk tambahan kursi, atau agar partainya bisa masuk parlemen.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *