Praktik CWLD mirip dengan CWLS: Wakif menempatkan dananya dalam bentuk deposito melalui bank syariah yang sudah terdaftar sebagai nazir wakaf uang. Nazir akan menyalurkan hasil kelolaan CWLD itu kepada Lembaga wakaf.
3. Sukuk Linked Waqf (SLW)
Berbeda dengan CWLS dan CWLD, dalam SLW, nazir itu menjadi pihak yang menerbitkan sukuk dan mengelola manfaatnya. Praktik SLW secara tradisional sudah dijalankan semua lembaga wakaf dengan menawarkan kupon wakaf untuk mendanai suatu proyek wakaf.
Misalnya suatu proyek berbiaya Rp1.000.000.000. Nazir memecah-mecah biaya itu dalam bentuk 10.000 lembar kupon wakaf. Masing-masing kupon bernilai Rp100.000. Hasil pengumpulan dana dari para wakif langsung digunakan untuk membiayai pembangunan proyek tersebut.
4. Wakaf Manfaat
Wakaf manfaat berbeda dengan wakaf pada umumnya, karena yang diwakafkan adalah manfaat yang dihasilkan suatu subjek. Periode wakaf manfaat tidak selama-lamanya, melainkan hanya sebatas kemampuan subjek itu menghasilkan manfaat saja.
Beberapa contoh manfaat yang bisa dijadikan instrumen wakaf antara lain: Manfaat asuransi, manfaat investasi, manfaat hak kekayaan intelektual, manfaat keahlian atau profesi dan manfaat alat atau mesin produksi.
PERSEPSI SALAH
Di sinilah awal kesulitannya. Pada umumnya lembaga wakaf dikelola para ahli di bidang agama yang tidak ahli berbisnis. Maka pemanfaatan 73% aset wakaf hanya digunakan untuk 3M (masjid, musala dan makam). Kondisi itu menciptakan persepsi publik yang salah: Wakaf dinilai hanya urusan para ahli agama. Padahal wakaf punya perspektif lain sebagai modal usaha syariah.
Sebagai pengurus bidang kerjasama dan investasi, saya mengundang para pengusaha dan profesional muslim untuk merapat ke Wakafmu, lembaga wakaf Muhammadiyah. Ada aset lahan lebih dari 21 juta meter persegi yang memerlukan tenaga, ilmu, pengetahuan, dan pengalaman Anda agar menjadi berubah dari ‘’air mata’’ menjadi ‘’mata air’’ bagi masyarakat. (*)
Penulis adalah pengurus Wakafmu, bidang Kerjasama & investasi