Hajinews.co.id — Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon presiden sangat mungkin terganjal.
Dua pakar hukum tata negara Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar resmi mengajukan uji formil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 ke MK.
Keputusan itulah yang membuat Gibran menjadi memenuhi syarat sebagai bakal calon presiden meski belum berusia 30 tahun.
Putusan MK itu mengubah Pasal 169 huruf q UU Pemilu soal batas usia capres-cawapres.
MK membolehkan anggota legislatif dan kepala daerah di segala tingkatan maju sebagai capres-cawapres sebelum 40 tahun.
Denny dan Zainal Arifin juga meminta agar provisi atau putusan sela dilakukan secepat kilat.
Pemilu butuh kepastian hukum
Hal ini mengingat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden berakhir pada 25 November 2023, sehingga dibutuhkan kepastian hukum segera melalui persidangan secara cepat.
“Menyatakan memeriksa permohonan para pemohon secara cepat dengan tidak meminta keterangan kepada MPR, DPR, Presiden, DPD, atau pihak terkait lainnya,” tulis keduanya dalam gugatan itu.
“Dalam Pasal 54 UU MK juncto Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 disebutkan, bahwa permintaan keterangan pihak-pihak tersebut tidak bersifat wajib, melainkan pilihan, karena ditulis dengan kata ‘dapat’, bukan ‘wajib,” jelas mereka.
Di samping itu, Denny dan Zainal meminta agar Ketua MK Anwar Usman tak turut mengadili gugatan uji formil mereka.
Hal tersebut berdasarkan Pasal 17 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan tidak sah sebuah putusan yang dihasilkan dari majelis hakim yang tidak mundur dari potensi konflik kepentingan pada perkara tersebut.
UU yang sama mengamanatkan agar jika situasi itu terjadi, maka perkara tersebut harus disidang ulang dengan komposisi majelis hakim yang berbeda.
Denny dan Zainal menjelaskan, bila sejak awal Anwar mundur dari perkara itu, maka hasil akhir putusannya akan berbeda karena komposisi hakim yang setuju dan menolak sama-sama empat orang.
Dengan komposisi 50:50, maka perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya ditolak karena Wakil Ketua MK Saldi Isra ada dalam posisi menolak.
Ketentuan semacam itu diatur berdasarkan Pasal 66 ayat (4) dan 67 ayat (6) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2023, bahwa tatkala komposisi hakim yang setuju dan menolak seimbang, maka posisi Ketua dan Wakil Ketua MK akan menjadi penentu.
“Oleh karena itu, apabila YM Anwar Usman taat pada hukum dan etika untuk mengundurkan diri, maka Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagaimana dimaknai dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 tidak akan eksis,” jelas Denny dan Zainal.
Terlebih, Anwar saat ini menjadi hakim dengan laporan dugaan pelanggaran etik serta konflik kepentingan paling banyak (15 dari 21 laporan) menyusul Putusan 90 tersebut, menilik hubungan kekerabatannya sebagai ipar Presiden Joko Widodo.
Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang telah merampungkan pemeriksaan terhadap semua pihak terlapor dan terkait sudah menyimpulkan bahwa Anwar merupakan hakim yang paling bermasalah dalam kasus pelanggaran etik ini.
Denny dan Zainal juga meminta MK menunda berlakunya putusan itu dan menangguhkan segala kebijakan berkaitan dengan putusan itu.
Sementara itu, dalam pokok permohonannya, keduanya meminta agar MK menyatakan pembentukan Putusan 90 itu inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, lantaran terdapat cacat hukum dalam proses lahirnya putusan tersebut.
Namun, gugatan yang diajukan Denny bersama Zainal itu belum diregistrasi MK. Gugatan itu baru tercatat dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon (AP3) dengan nomor 146/PUU/PAN.MK/AP3/11/2023, sebagaimana dikutip situs resmi MK, Sabtu (4/11/2023).
Sebagai informasi, Putusan 90 ini telah memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya tiga tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023), dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.