Elektabilitas Prabowo-Gibran Makin Tergerus, Pengamat Anggap Wajar: Kesadaran Publik Makin Tinggi

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — Pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres Koalisi Indonesia Maju (KIM), ternyata justru membebani elektabilitas capres Prabowo Subianto.

Hal itu terungkap dalam hasil survei terbaru Charta Politika.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Menanggapi hasil survei tersebut, pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi mengatakan jika hal itu wajar.

Menurut Airlangga, penurunan elektabilitas Prabowo-Gibran merupakan konsekuensi dari semakin tingginya kesadaran publik bahwa telah terjadi intervensi kekuasaan dalam meloloskan nama Gibran Rakabuming Raka, seusai putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Masyarakat semakin sadar dan menilai adanya kepentingan politik dinasti, di balik putusan MK pimpinan Anwar Usman, alias adik ipar Presiden Jokowi itu.

Ditambah lagi, orang juga memberi penilaian buruk terhadap MK. Dengan ramai membuat plesetan MK menjadi Mahkamah Keluarga sebagai sindiran atas putusan kontroversial MK yang harus mengubah undang-undang untuk meloloskan Gibran.

“Survei Charta Politika memperlihatkan tampilnya Gibran mendampingi Prabowo justru membebani Prabowo, alih-alih ikut memperkuat suara. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi tentang naiknya Gibran sebagai cawapres tak bisa dipisahkan dari intevensi kekuasaan dan penggunaan institusi hukum MK sebagai instrumen kekuasaan,” ujar Airlangga kepada media, Selasa (7/11).

Dia menambahkan, persepsi adanya intervensi kekuasaan di tubuh MK membuat pandangan publik bergeser. Terutama bagi para pendukung Presiden Jokowi, dengan tidak serta merta memperkuat kandidasi Gibran.

“Justru yang terjadi adalah penguatan tentang tampilnya Gibran sebagai simbol representasi politik dinasti Jokowi yang berusaha melanggengkan kekuasaan,” ujar doktor alumnus Murdoch University, Australia, tersebut.

Seperti diketahui, pada Senin (6/11), Charta Politika merilis hasil survei terbaru.

Simulasi tiga pasang calon presiden-calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD mendapat elektabilitas tertinggi yakni 36,8 persen.

Disusul Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (34,7 persen), dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (24,3 persen).

Adapun jumlah responden yang tidak menjawab sebanyak 4,3 persen.

Selain soal tergerusnya elektabilitas Prabowo, pada survei Charta Politika terkini, disebutkan sebanyak 39,7 persen responden menyatakan percaya bahwa Presiden Jokowi turut campur dalam keputusan MK terkait batas usia capres-cawaptres.

Dan, dari jumlah tersebut, 49,9 persen responden setuju bahwa hal itu merupakan penyalahgunaan wewenang untuk memudahkan orang dalam keluarga Presiden Jokowi menja cawapres.

 

Demokrasi Dirusak

Direktur Eksekutif Indonesia Presidential Studies, Nyarwi Ahmad mengatakan, hasil survei menyebut bahwa mayoritas publik menganggap Jokowi ikut terlibat dalam putusan MK.

Apabila skandal di MK diibaratkan ‘drama’, maka publik percaya bahwa presiden juga punya peran dalam drama tersebut.

“Orang ada yang kemudian berpikiran kritis, kalau presiden melihat politik kita sebagai drama, publik bisa melihat keberadaan presiden ada dalam drama itu, bahkan menjadi bagian penting,” papar Nyarwi.

“Atau bahkan beberapa pihak mensinyalir, salah satu sutradara di balik drama itu, wajar saja, karena presiden tidak pernah menyampaikan ekspresinya secara eksplisit,” imnbuh dia.

Tidak bisa dipungkiri, Pakar Komunikasi Politik UGM ini menambahkan , Jokowi sebagai presiden menjadi sangat sentral dalam politik hari ini.

Peran Jokowi sangat besar, bukan sekadar dari proses kandidasi, namun sampai nanti penyelenggaraan Pemilu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Action (CISA) Herry Mendrofa menyebut, penilaian publik atas adanya cawe-cawe Jokowi dalam putusan MK bisa dipahami.

Hal itu dikarenakan relasi kekeluargaan dan relasi kekuasaan sangat kental dalam putusan Perkara 90/PUU-XXI/2023.

“Karena relasi kekeluargaan sangat lekat dengan relasi kuasa dalam konteks hubungan Jokowi dengan Ketua MK. Ini hal yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Penilaian publik seperti itu,” terangnya.

Selain itu, Herry mengungkap indeks demokrasi era Jokowi menjadi yang terburuk sejak 14 tahun terakhir.

“Jelas akan mengalami penurunan, terutama era Jokowi, indeks demokrasi Indonesia dari lembaga asing adalah yang terburuk dari 14 tahun terakhir. Bahkan tidak mengalami perubahan signifikan,” tambahnya.

Menurutnya, ada aspek-aspek tertentu yang harus menjadi bahan evaluasi. Misalnya budaya politik.

“Yang terjadi adalah per hari ini budaya politik itu tidak muncul karena intervensi kekuasaan. Sehingga publik enggan untuk mengatakan politik Indonesia baik-baik saja,” tegasnya.

Herry juga mengungkapkan indeks demokrasi Indonesia yang termasuk rendah, apalagi ketika muncul putusan MK.

Hal itu dinilai akan semakin memburuk kehidupan demokrasi.

“Jokowi sebelum keputusan MK kemarin, Indeks Demokrasinya rendah. Apalagi ini kaitannya dengan relasi kekuasaan dan relasi kekeluargaan yang erat kaitannya dengan keputusan MK. Ada hal yang ditabrak juga,” tandas dia. 

sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

0 Komentar