Nasib Gibran di Ujung Palu MK

Nasib Gibran di Ujung Palu MK
Nasib Gibran di Ujung Palu MK
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Permohonan pengujian peraturan syarat kandidat Pilpres 2024 di MK berpotensi menggagalkan pencalonan Gibran sebagai cawapres. TKN Prabowo-Gibran menyiapkan sejumlah skenario untuk mengantisipasinya.

Hajinews.co.id – Setelah Anwar Usman divonis terbukti melakukan pelanggaran etik berat, celah untuk mendongkel Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat Pilpres 2024 dianggap masih terbuka. Ada dua permohonan pengujian peraturan syarat usia capres-cawapres yang baru. Mereka meminta hakim konstitusi menganulir keputusan cacat etik, formil, dan legitimasi yang dibuat Anwar Usman.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Salah satu gugatan judicial review itu diajukan oleh Viktor Santoso Tandiasa dan Brahma Aryana. Brahma adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Sedangkan Viktor adalah advokatnya. Dalam petitumnya, mereka meminta pembatalan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang telah melanggengkan keponakan Anwar, yaitu Gibran, untuk maju sebagai calon wakil presiden 2024.

Putusan etik Majelis Kehormatan MK, yang memecat Anwar dari jabatan Ketua MK, menjadi dasar permohonan mereka. Dalam putusan etik tersebut, Anwar dinyatakan terbukti melanggar prinsip ketidakberpihakan, independensi, dan integritas hakim. Ada dugaan konflik kepentingan karena Anwar tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan Putusan 90 itu.

“Kalau kita mengacu pada Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Nomor 48 Tahun 2009), ketika terjadi konflik kepentingan, kan itu putusan batal demi hukum,” ungkap Viktor

Kalau bunyinya begitu, ya harus ada penggantian pasangan calonnya Pak Prabowo sebelum batas waktu 13 November.”

Dalam Pasal 17 ayat 5 memang tercantum, hakim yang memiliki konflik kepentingan wajib mengundurkan diri dari persidangan. Ayat 6 di beleid yang sama berbunyi, apabila ketentuan itu dilanggar, putusan dinyatakan tidak sah dan hakim yang melanggar dapat dikenai sanksi administratif atau dipidana.

Petitum yang diajukan ke MK oleh Viktor tersebut adalah meminta agar syarat menjadi capres-cawapres tetap diperbolehkan di bawah usia 40 tahun asalkan pernah menjabat gubernur.

“Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat provinsi,” bunyi petitumnya.

Semalaman kemarin, Viktor mengebut perbaikan materi perkara yang teregistrasi bernomor 141/PUU-XXI/2023 itu. Harapannya, kata Viktor, MK bisa langsung menggelar sidang perbaikan dan memutus perkara ini sebelum tanggal penetapan capres-cawapres pada 13 November 2023. Tujuannya, agar legitimasi Pilpres 2024 tidak tergerus lantaran salah satu calon wakil presidennya, yakni Gibran, mendaftar dengan putusan yang cacat secara etik.

“Karena, kalau sudah telanjur calon-calon itu di-SK-kan (diputuskan), maka akan berpotensi digugat ke PTUN oleh masing-masing lawan politiknya,” terang pendiri firma hukum VST and Partners ini.

Pakar hukum tata negara Denny Indrayana mengungkapkan, Perkara 141 itu bisa menjadi pintu masuk untuk mengganti aturan main Pemilu 2024. Sebab, kata Denny, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari sudah menyatakan batas akhir perubahan nama calon presiden bisa dilakukan sampai 13 November 2023. Artinya, sampai tanggal yang ditentukan tersebut, masih ada potensi KPU mengubah lagi syarat usia capres-cawapres sampai ada kepastian hukum tetap.

Namun, lanjut Denny, itu tergantung bagaimana putusan MK terkait perkara yang diajukan. Apabila MK mengabulkan petitum pemohon pada Perkara 141, KPU harus mengikuti aturan main pemilu terbaru yang ditetapkan berdasarkan putusan tersebut. Dengan demikian, pencalonan capres maupun cawapres yang menggunakan Putusan 90 sebagai dasar aturan—dalam hal ini Gibran—juga bakal dinyatakan batal demi hukum.

“Kalau bunyinya begitu, ya harus ada penggantian pasangan calonnya Pak Prabowo sebelum batas waktu 13 November,” tutur Denny saat dihubungi reporter detikX pada Rabu, 8 November 2023.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut juga mengajukan permohonan serupa ke MK. Dia bersama pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, meminta agar: hakim konstitusi menyatakan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena cacat formil.

Dalam provisinya, mereka meminta hakim MK memeriksa perkara yang mereka ajukan dengan cepat. Tentu tanpa meminta keterangan kepada MPR, DPR, DPD, dan Presiden.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *