Disway: Tahija Wolbachia

Tahija Wolbachia
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dahlan Iskan

Hajinews.co.id – KALAU bisa disebut ”harta karun”, demam berdarah termasuk kategori ”harta tak bertuan”.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dunia Barat tidak tertarik memberantasnya. Riset tentang DB pun tidak diutamakan. Apalagi sampai menyediakan dana khusus.

Itu kesimpulan Trihadi Saptoadi, Executive Board Yayasan Tahija. Yayasan Tahija didirikan putra Julius Tahija: dr Sjakon G Tahija (lihat Disway kemarin).

”Di WHO bisa dilihat daftar penyakit yang masuk kategori seperti DB itu,” ujar Trihadi kemarin.

Memang begitulah nasib penyakit khas negara tropis yang miskin. Beda dengan, misalnya, penyakit AIDS. Atau jantung. Kanker.

Sampai pada suatu ketika dr Sjakon terkena demam berdarah. Sangat berbahaya. Mematikan. Bikin trauma.

Orang kaya meninggal karena demam berdarah sangatlah ironi. Itu yang dialami salah satu orang kaya Indonesia, Dharmawan Ruslim. Mantan direktur utama Astra pula. Ia sampai dibawa ke Singapura –yang minim pengalaman dalam mengatasi demam berdarah. Ia meninggal di sana.

Dokter Sjakon tidak sampai meninggal. Beruntung sekali. Ia pun tergerak untuk tahu lebih banyak penyakit demam berdarah. Terutama mengenai penyebabnya. Lalu bertekad terjun mengatasinya.

Sebagai dokter mata ahli bedah retina, tidak sulit bagi Sjakon memahami dunia kesehatan masyarakat.

Sebagai pewaris salah satu konglomerat terbesar Indonesia di masa lalu tidak sulit mencari dana.

Yang sulit adalah dari mana memulainya. Tidak banyak hasil penelitian tentang DB yang bisa dijadikan acuan.

Tapi harus dimulai. Ia pun memilih fokus pada pemusnahan jentik nyamuk pembawa virus demam berdarah: aedes aegypti. Pakai teknologi control of targeted sources.

Gagal.

Lima tahun Yayasan Tahija berjuang melawan jentik aedes aegypti. Tidak membuahkan hasil. ”Sudah habis Rp 50 miliar,” ujar Trihadi yang saat itu belum bergabung ke Yayasan Tahija (baca: Tahiya).

Trihadi orang Kediri. Setelah lulus SMAN 2 Kediri ia masuk ITB. Teknik Industri. Angkatan tahun 1980. Setelah dua tahun bekerja di Elnusa, Trihadi terjun ke lembaga not for profit, NGO. Ia bergabung ke World Vision International.

Selama 30 tahun di WVI Trihadi pindah-pindah: Hong Kong, RRT, Singapura, Belanda, dan terakhir di London.

Kegagalan memberantas jentik aedes aegypti itu dibawa Sjakon ke seminar internasional di Amerika Serikat. Yakni di seminar American Society of Tropical Medicine and Society.

Di situlah Sjakon diberi tahu: ada peneliti nyamuk yang serius di Monash University Australia. Namanya: Prof Scott O’Neill.

Prof O’Neill sudah pula melakukan penelitian terapan di kota kecil di Australia utara. Dekat wilayah tropis. Berhasil.

Prof O’Neill memasukkan bakteri Wolbachia ke dalam telur nyamuk. Itu membuat nyamuk tidak bisa menularkan bakteri ke nyamuk lain maupun ke manusia.

Bakteri Wolbachia itu ditemukan di tahun 1924. Wolbachia ditemukan di banyak serangga, tapi tidak ditemukan di nyamuk.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *