Dramaturgi Tangisan Mas Goen

Dramaturgi Tangisan Mas Goen
Goenawan Mohamad
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ady Amar, Kolumnis

Hajinews.co.idGoenawan Mohamad, jurnalis senior dan salah satu pendiri majalah TEMPO, budayawan sekaligus sastrawan, menangis tak biasanya. Setitik air menggantung di kelopak matanya, lalu sedikit meleleh di pipi. Wajahnya terlihat sendu, dan maaf, lusuh. Bicara pun tersendat seolah ia tengah kelelahan yang sangat.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Pikirku, itu karena terlampau lama ia terlelap. Karenanya, memunculkan sesal. Tak mengira negeri ini terseret menuju kehancuran. Ia memang baru terjaga dari tidur panjangnya. Lebih dari 9 tahun ia mengukir mimpi indah.

Saat terjaga, ia tergagap melihat sekeliling yang terasa asing. Agaknya di matanya semua menjadi berubah. Jokowi yang disanjungnya, itu tiba-tiba menjadi bukan sosok yang dulu dikenalnya. Padahal Jokowi tak pernah berubah, kecuali sekadar membuka topengnya.

Tak ada yang berubah, kecuali nalar mati dan tersesat. Semua menjadi serasa berubah, jauh dari yang dibayangkan. Lalu, Mas Goen atau GM–biasa ia dipanggil–berlaku seperti layaknya bocah kecil kalah main gundu di pekarangan tetangga, dan berlari pulang menangis.

Tangis Mas Goen itu tidak lain sekadar penegas, bahwa ia bukan bagian yang terlibat dalam sengkarut mengacak-acak demokrasi. Dan, itu menjadikan hukum sekadar keset kekuasaan.

Wajah Mas Goen setidaknya terlihat tertekuk. Ketuaan wajahnya pun makin tampak. Baru sekali-kalinya ia menangis di hadapan publik, itu dua pekan lalu, dalam acara “Rosi”, Kompas TV.

Ia salahkan Jokowi yang berubah. Lalu ia bertanya dengan tanya seada-adanya, lebih tepat itu tanya pada diri sendiri, “Kepada siapa lagi kita percaya,” lanjutnya masih dengan nada tanya, “Rakyat percaya siapa Ketua MK, Jokowi, atau Gibran?”.

Tapi sayang tak muncul penyesalan darinya, bahwa ia bagian yang ikut membuat suasana negeri berubah begitu cepat. Mas Goen seperti berlepas diri, cuci tangan, tergagap dan menutupinya dengan menangis, berharap semua tak menafsir tangisannya itu.

Muncul pula suara grenengan lirih dari mulutnya, suara tipis nyaris tak terdengar. Tapi tetap tak terdengar muncul suara penyesalan, bahwa ia bagian yang ikut membesarkan anak kucing jadi harimau.

Mas Goen terlalu besar diri, tak kenal kamus bersalah, dan mustahil minta maaf. Melihat adegan menangis, tak membuat diri ini turut bersedih. Justru terus mencermati grenengan kata per kata yang meluncur dari mulutnya, berharap ada sesal meski sekadar kata bersayap, tapi tak juga muncul. Ia tetap menyalahkan keadaan yang berubah, tapi tak merasa mengapa semua bisa berubah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *