Kultum 276: Anak Yatim dan Cara Menyantuninya

Anak Yatim
Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Dr. H. Rubadi Budi Supatma, Wakil Ketua Departemen Kelembagaan dan Hubungan Luar Negeri Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia, PP IPHI.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Pembaca yang dirahmati Allah,

Hajinews.co.id – Sepintas terminologi ‘Anak Yatim’ sebagai anak yang ditinggal mati oleh bapaknya, mudah untuk dipahami. Akan tetapi, ketika muncul terminologi lainnya yaitu ‘Yatim Piatu’, maka keraguan akan segera muncul dan kita menjadi sedikit ragu tentang validitas istilah ‘yatim’. Keraguan itu khususnya muncul karena adanya pertanyaan berikutnya, yaitu “Apakah anak yang ditinggal mati ibu juga disebut yatim?”

Pertanyaan susulan juga segera akan muncul, yakni “Benarkah anak yang ditinggal mati  ibunya boleh didiskriminatifkan dalam penyantunan dan perhatian?” Adakah dalilnya anak yang kematian ibu disebut piatu sehingga hak santunan material dan kasih sayang boleh berbeda dengan anak yang kematian bapak? Lantas, bagaimana cara menyantuni anak yatim yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Adakah tuntunan memberi santunan dengan prosesi mengusap atau membelai rambut anak yatim oleh jamaah secara bergiliran? Berbagai pertanyaan itu bahkan ada yang terbaca, “Apakah dibenarkan yatim remaja putri dibelai-belai sedemikian rupa oleh jamaah laki-laki dari remaja hingga dewasa?”. Mari kita simak beberapa poin berikut.

Kata ‘yatim’ berasal dari akar kata bahasa Arab ‘maut’ yang berarti anak yang telah kehilangan (kematian) ayahnya, bukan ibunya. Anak yatim wajib disantuni karena ia kehilangan ayah yang wajib menanggung nafkahnya. Namun demikian, anak yang kehilangan (kematian) ibunya tetap wajib disantuni sebagaimana halnya anak yang khilangan ayahnya. Apalagi kalau anak tersebut kehilangan (kematian) kedua orang tuanya sekaligus.

Adapun kata ‘piatu’ di dalam bahasa Indonesia adalah sebutan untuk anak yang kehilangan (kematian) ibunya. Jadi, anak yang kehilangan (kematian) ayah dan ibunya biasa disebut dengan ‘yatim piatu’. Masa atau waktu ke-yatim-an seorang anak itu ada batasnya, yaitu ketika ia telah baligh dan telah ‘mandiri’. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ

فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا

إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ.

Artinya:

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya (QS. an-Nisa’, ayat 6).

Selain ayat tersebut, juga banyak hadits yang menganjurkan kita untuk memelihara dan menyantuni anak yatim. Salah satunya,

عَنْ سَهْلٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ

عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي

الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا. رواه البخارى

Artinya:

Dari Sahl (berkata), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku dan pemelihara (penyanun) anak yatim, di surga seperti ini”, lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit” (HR. Al-Bukhari).

Sementara itu, di dalam riwayat yang senada dengan redaksi yang sedikit berbeda, diriwayatkan juga, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga’, lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah” (HR. Muslim).

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *