RI Bisa Gagal Jadi Negara Maju, 2 Menteri Jokowi Angkat Bicara

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — Indonesia bisa gagal menjadi negara maju pada 2024, hal ini dikatakan dalam white paper yang dirilis Lembaga Penelitian dan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FEB UI berjudul Dari LPEM bagi Indonesia: Agenda Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029.

Dekan FEB UI Teguh Dartanto yang menjadi salah satu penulis dalam white paper tersebut bertajuk Menavigasi Jalan Indonesia Menuju 2045: Kesetaraan dan Mobilitas Ekonomi, mengatakan Indonesia belum memenuhi syarat cukup dan syarat perlu untuk menuju negara berpendapatan tinggi layaknya China, Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan Brazil, ketika mereka pertama kali masuk dalam kelompok negara berpendapatan tinggi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

LPEM FEB UI mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang stagnan dan tak pernah jauh di atas level kisaran 5%, pertumbuhan kredit per tahun pun tak pernah tembus 15%, rasio pajak terhadap PDB tak pernah melampaui 11% dan bahkan hanya 9,9% satu dekade terakhir, hingga kontribusi industri terhadap PDB yang terus merosot hingga kini di level 18% dan kemiskinan ekstrem yang persisten di level 1,7%.

“Saya rasa ini catatan-catatan yang sangat kritis, apakah mimpi itu realistis atau bukan, atau kita perlu berfikir ulang mengenai Indonesia Emas 2045 atau menjadi Indonesia Cemas 2045,” kata Teguh saat memberikan kata sambutan dalam peluncuran white paper itu di Jakarta, dikutip Rabu (22/11/2023).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengaku sudah membaca kajian LPEM FEB UI yang mengungkapkan Indonesia berpotensi besar gagal menjadi negara maju pada 2045. Menurutnya, kajian itu bisa saja betul terjadi jika ekonomi bergerak linear atau gitu-gitu saja.

“Dengan perhitungan sederhana saja menggunakan rule of thumb angka 72 kalah kita mau dua kali lipat dari sekarang saja kalau mau tumbuh lebih 5% berapa lama dan seterusnya,” kata Suharso dalam acara peluncuran buku Menuju Indonesia Emas di kantornya, Jakarta, Senin (20/11/2023).

“Saya sedikit percaya mengenai kemungkinan kita akan belum akan mencapai masuk di high economy pada 2045, kalau pertumbuhannya seperti ini,” tambahnya.

Permasalahan berat untuk merealisasikan Indonesia Emas 2045, atau menjadi negara maju pada 100 tahun kemerdekaan adalah pertumbuhan ekonomi yang stagnan di level 5%, padahal untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap pada 2045 atau lebih cepat harus tumbuh di level 6% ke atas.

Dia menilai permasalahan ini erat kaitannya dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) atau biaya modal untuk menghasilkan satu unit output ekonomi masih terlalu tinggi, yakni di level 6,25. Maka, ke depan, ia menekankan, ICOR itu harus dilaksanakan dengan mengembalikan desain pembangunan sesuai RPJPN 2025-2045.

“ICOR kita yang relatif sangat tinggi. Kalau itu bisa ditekan saja maka dengan rasio investasi kita sekarang sebenarnya kita bisa terbang tumbuh di atas 5%, bisa sampai 6%,” ujarnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengakui bahwa target Indonesia sebagai negara maju pada 2045 yang telah dicanangkan Presiden Joko Widodo adalah ambisius.

Namun, dia menilai target itu realistis, karena Indonesia memiliki modal dan peluang menjadi negara berpendapatan tinggi pada 100 tahun kemerdekaan mendatang. Pada 2045, pemerintah menargetkan pendapatan per kapita sebesar US$ 23.000-30.300 per tahun dari 2022 sebesar US$ 4.580.

“Target ini ambisius tapi realistis. Oleh karenanya dibutuhkan smart execution dan strong collaboration dari berbagai pihak, pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, cendekiawan, dan tentunya universitas,” kata Airlangga dalam acara Indonesia Economic Outlook Seminar 2024, Selasa (21/11/2023).

 

Modal Jadi Negara Maju

Airlangga pun mengungkapkan empat peluang atau potensi yang saat ini dimiliki Indonesia untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap dan menjadi negara maju pada 2045, yaitu populasi, hilirisasi, digitalisasi, dan inovasi.

Dari sisi populasi, ia mengatakan, Indonesia dianugerahi dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Namun, jumlah populasi itu tidak boleh hanya dibiarkan menjadi konsumen saja yang selama ini menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 5%.

Modal kedua adalah hilirisasi. Dia mengungkapkan akan menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi Indonesia ke depan karena Indonesia tidak lagi mengekspor sumber daya alam (SDA) mentahan, melainkan mengolahnya terlebih dahulu untuk memberikan nilai tambah.

“Saat ini hilirisasi sudah dibangun dengan membangun ekosistem di sektor manufaktur maupun sektor berbasis kendaraan listrik dan juga hilirisasi mineral sebagai nilai tambah menuju industrialisasi yang bermanfaat,” tegasnya.

Modal ketiga, yang terkait digitalisasi, menurutnya akan terus menjadi modal baru penopang pergerakan ekonomi karena nilai ekonomi digital ASEAN terus berkembang, dari saat ini sekitar US$ 80 miliar menjadi US$ 1 triliun pada 2040.

Modal terakhir adalah tren inovasi di dalam negeri. Airlangga mengklaim inovasi telah terjadi di tengah berjalannya revolusi industri 4.0 sejak 2011 silam. Ditandai dengan masuknya sistem kecerdasan buatan dan otomasi dalam industri.

“Oleh karena itu, peningkatan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi penting dan perguruan tinggi tentu menjadi bagian mendidik generasi muda kita,” ungkapnya.

Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menilai struktur industri Indonesia sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto hingga saat ini belum berubah, hanya menjadi negara industri pengolah bahan baku, dan belum mampu sampai tahap industri penghasil produk berteknologi tinggi, meskipun sudah ada program hilirisasi.

Program hilirisasi itu pun menjadi salah satu program yang terus didorong pada masa pemerintahan Jokowi. Namun, Suharso menekankan, produk yang dihasilkan belum kompleks karena baru sebatas mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi, seperti komoditas nikel baru bisa menghasilkan feronikel.

“Dan rupanya strukturnya itu enggak berubah, enggak berubah ketika kita juga melakukan hilirisasi dan seterusnya. Kita ingin mengatakan bahwa tidak terbentuk kompleksitas dari industri kita yang kaki-kakinya ada di Indonesia,” kata Suharso.

Dia mengungkapkan belum ada satupun industri dalam negeri yang mampu menghasilkan satu produk dengan merek sendiri seperti negara lain yang mampu keluar dari middle income trap. Ia mencontohkan Korea Selatan, yang memiliki industri ponsel sendiri, dan mobil sendiri, begitu juga dengan Jepang, serta China.

“Itu yang bikin saya gregetan dari dulu sampai saat ini, jadi kita akan mengalami kerepotan. Contoh Korea dia melambung karena punya satu produk yang yang hasilkan kompleksitas tinggi misal dia punya mobil, dia punya gadget, itu luar biasa berkembang, tapi Indonesia tertatih-tatih,” ujar Suharso.

Penyebab utama permasalahan ini menurutnya belum ada pengusaha di Indonesia yang mampu membuat produk jadi yang bisa dipasarkan di dunia internasional, karena seluruhnya pengusaha yang ada selama ini hanya berperan sebagai pedagang, dan mayoritas pun pedagang jasa.

“Tradable goods kita juga paling mamin. Jadi kalau kita lihat enterpreneur kita dagang, trader, enggak ada maker, itu enggak ada, sedikit,” ucap Suharso.

“Begitu kita dibilang hebat masuk digital, kita hanya bikin apa? platform market place, thats it’s, kita enggak bikin produknya, enggak bikin goodsnya, enggak ada, services aja, itu yang menurut saya ke gregetan kita,” ungkapnya.

Sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *