Pakar IPB Sebut Food Estate di Tangan Prabowo Militeristik, Tak Demokratis dan Tak Libatkan Petani

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id — Pakar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Didin S. Damanhuri menegaskan food estate sebagai proyek strategis nasional era Jokowi yang diserahkan pada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto cenderung militeristik, pelaksanaannya bersifat pemaksaan mirip tanam paksa zaman Belanda.

“Food Estate era Jokowi ini dserahkan kepada Menteri Pertahanan Prabowo sehingga warna militerisme pertanian terjadi. Dalam pelaksanaannya bersifat pemaksaan mirip tanam paksa zaman Belanda. Begitupun dalam penyelesaian konflik agraria tidak dengan cara-cara demokratis, tapi cenderung mengedepankan penggunaan aparat atau koersif,” ujarnya, Sabtu (25/11/2023).

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Didin mengatakan, sebenarnya Food Estate merupakan skenario G20 untuk menghadapi krisis pangan dunia. Indonesia kebagian untuk membangun Food Estate tersebut berbasis korporaso dan tidak melibatkan Petani dalam proses pelaksanannya.

“Hal ini berdampak kepada nasib petani serta lingkungan ekologis yang rusak serta makin memperburuk konflik agraria. Petani tidak dilibatkan dalam membangun food estate tersebut, padahal mereka itulah menjadi tulang punggung produksi nasional padi dan pangan lainnya termasuk tercapainya swasembada di era Orba (1980-90) maupun sempat dicapai saat era reformasi, meski tidak panjang waktunya,” ujarnya.

Sementara, lanjutnya, food estate mengandalkan korporasi besar dengan bentangan lahan yang sangat luas. Itu terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono di Papua maupun Era Jokowi di Kalimantan tengah dan Sumatera Utara.

“Hal itu berdampak pada kerusakan lingkungan, karena dalam lahan yang sangat luas itu bersifat monokultur dan umumnya melibatkan tanah gambut. Juga berdampak makin menambah parahnya konflik agraria, karena banyak mengambil tanah-tanah adat atas nama Proyek Strategis Nasional,” kata Didin.

Hasilnya pun, lanjutnya, Food Estate ini sangat jauh dari tercapainya swasembada pangan. “Buktinya impor pangan jalan terus. Harusnya swasembada pangan melibatkan petani dengan konsolidasi lahan dan dibangun cooperative farming dan jumah penyuluh yang memadai,” tandasnya.

 

Anies Nilai Food Estate Bukan Solusi untuk Ketahanan Pangan

Capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan Anies Baswedan berbagi pandangan terkait ketahanan pangan yang terjangkau untuk semua dalam kegiatan Konferensi Orang Muda Pulihkan Indonesia yang diinisiasi WALHI di Balai Kartini, Jakarta pada Sabtu (25/11/2023).

Salah satunya adalah melakukan perubahan pada sektor pangan, di mana jika selama ini menggunakan pendekatan food estate dirubah menjadi pendekatan contract farming.

“Jadi begini, wilayah pertanian kita itu tersebar di seluruh Indonesia. Petani-petani kita sudah melakukan kegiatan pertanian lintas generasi. Mereka tidak boleh ditinggalkan. Justru kita harus hadir melakukan intensifikasi atas aktivitas pertanian mereka karena itu pendekatan yang mau kami lakukan adalah pendekatan yang sudah dikerjakan selama ini di Jakarta(rekam jejak di Pemprov DKI Jakarta),” jelas Anies.

Saat masa kepemimpinan Anies sebagai Gubernur, Pemprov DKI Jakarta membuat kontrak dengan GAPOKTAN (Gabungan Kelompok Tani) di berbagai wilayah.

Lalu, para petani-petani yang tergabung dalam GAPOKTAN, diajak untuk meneken kerjasama bahwa hasil pertanian mereka akan dibeli oleh Pemrov DKI selama 5 tahun berserta range harga serta kualitasnya.

Dengan begitu negara mendapat kepastian supply, dan bagi petani ada kepastian yang membeli.

“DKI Jakarta bukan membeli lahan besar lalu membuat food estate untuk Jakarta. Yang kami lakukan justru mengajak petani-petani yang ada diperkuat,” tegasnya.

“Apa yang terjadi ketika memiliki contract farming? Mereka bisa mendapatkan kredit untuk mekanisasi pertanian, mereka melakukan produksi pertanian secara kolektif, karena mereka memiliki kepastian siapa yang membeli hasil taninya. Jadi, kami melihat petani-petani di Indonesia harus dibantu untuk jadi berdaya,” imbuhnya.

Anies juga mengkritik selama ini program Food Estate memiliki banyak kelemahan mulai dari memperbesar ketimpangan antara petani dan korporasi, bahkan bisamerusak ekologi

Dan kita membuat sentral pertanian baru (food estate) yang justru berbasis korporasi. Yang mengerjakan justru korporasi-korporasi dari Jakarta. Sementara, petani-petani yang ada di seluruh Indonesia tidak mendapatkan fokus pertanian.

“Jadi, kami ingin petani di seluruh wilayah Indonesia mendapatkan perhatian. Koperasi2 diperkuat, contract farming dikerjakan sehingga mereka punya kepastian pembeli. Dan pemerintah membantu pertanian tradisional ini mengalami modernisasi, efisiensi sehingga arahnya begitu. Sehingga, pada ujungnya mereka semua bisa sejahtera,” tandasnya.

sumber

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *