Iriana dan Gibran Dalam Permainan Catur Jokowi

Iriana dan Gibran Dalam Permainan Catur Jokowi
Iriana dan Jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Radhar Tribaskoro , Penulis adalah Dewan Pembina Front Pergerakan Nasional dan Kita Anies

Hajinews.co.id – Dalam beberapa kesempatan Tempo, baik majalah maupun podcastnya (Bocor Alus) melemparkan isu bahwa istri Presiden Joko Widodo, Iriana, adalah figur utama dibalik munculnya Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto. Bocor Alus menceritakan bagaimana Iriana menggunakan senjata “perempuan” untuk memaksa Jokowi meloloskan keinginannya itu. Iriana, katanya, menolak melayani suaminya. Ia memaksa Jokowi tidur di sofa dan menghindari sang suami dengan “melarikan diri” ke rumah anak perempuannya di Medan.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Terpilihnya Gibran menjadi cawapres dikatakan sebagai semata-mata hasil kemauan keras Ibu Suri. Betulkah demikian?

Berikut ini saya akan menjelaskan bahwa framing Iriana itu adalah keliru besar. Iriana tidak lepas dari skenario besar suaminya. Artinya, menjadikan Gibran sebagai cawapres adalah keinginan Jokowi sendiri. Ia menggunakan Iriana sebagai pion skenario politiknya agar terbebas dari tuduhan cawe-cawe dalam pemilu presiden.

Skenario Jokowi

Apakah skenario besar Jokowi pasca-2024? Rencana besar itu adalah mempertahankan keberadaan klan Jokowi secara permanen dalam jagad politik Indonesia. Terkait dengan skenario itu Jokowi ingin semua potensi kesalahan dan tindak kejahatan yang melibatkan klan dan anggota rezimnya ditutup. Selain itu semua projek yang telah ia inisiasi, seperti IKN, pembangunan infrastruktur dan hilirisasi, dapat dilanjutkan. Jokowi beranggapan bahwa semua perojek-projek itu tinggal menunggu hasil. Jokowi berharap dengan semua hasil itu namanya dan klannya akan terangkat.

Untuk apa Jokowi membangun klan politiknya sendiri? Pada deduksi tingkat pertama kita menduga bahwa Jokowi saat ini mewakili suatu kelompok sosial yang belum direpresentasikan oleh sistem politik yang ada. Kelompok sosial itu mungkin anak-keturunan PKI, kelompok minoritas etnis seperti suku Kalang dari subkultur Jawa, pemeluk agama non-Islam yang merasa terancam oleh sebutan kafir, kelompok minoritas relijius seperti Ahmadiyah dan Syiah yang bahkan tidak diakui keIslamannya.

Kelompok-kelompok sosial di atas menunjukkan dukungannya kepada Jokowi terlepas dari keberadaannya di  PDI Perjuangan. Jokowi merasa bahwa peran politiknya tidak lagi tergantung kepada PDIP. Jokowi bersiap, kalau PDIP tidak dapat ia manfaatkan maka ia tidak ragu memisahkan diri. Jokowi tahu pada akhirnya ia akan berhadapan dengan Megawati.

Pada mulanya Megawati tidak berkeberatan membesarkan karir Jokowi. Melalui restunya Jokowi berhasil menjadi walikota Solo dua periode, memenangkan pilgub Jakarta dan akhirnya menjadi presiden RI dua periode. Namun Megawati mulai curiga ketika Jokowi memberitahukan niatnya untuk menjadi presiden 3 periode.

Kecurigaan tersebut muncul dari alasan Jokowi, bahwa presiden 3 periode dibutuhkan agar ia bisa mengklaim keberhasilan projek-projek yang telah ia mulai. Kenapa begitu, bukankah kerja pemerintahan adalah kerja kolektif (partai)? Kenapa harus Jokowi sendiri yang mengklaim keberhasilannya? Jokowi dicurigai mau mengabaikan peran partai yang selama ini membesarkan dirinya.

Partai PDIP tidak menyadari bahwa selama 9 tahun terakhir Jokowi telah memupuk modal politik sangat besar dari  personality politics yang dibangun untuk dirinya.

Personality politics merujuk kepada fenomena dimana karakteristik pribadi, citra dan kepribadian seorang politisi menjadi lebih penting daripada kebijakan dan ideologi yang mereka wakili (Lobo dan Curtis, 2014). Dalam era media sosial dan komunikasi masif, personality politics semakin menonjol karena fokusnya pada citra individu daripada substansi politik.

Aspek penting dari personality politics adalah cara pemimpin politik memanfaatkan citra pribadi mereka untuk memengaruhi opini publik dan memperoleh dukungan. Ini sering terjadi di banyak sistem demokrasi di mana kampanye pemilihan umum dan diskursus politik sangat berfokus pada individu daripada partai atau program. Singkatnya, _personality politics_ telah menjadikan pemerintahan di era Jokowi menjadi pemerintahan yang personal. Semua berkenaan dengan Jokowi. Apapun yang baik adalah karena Jokowi; apapun yang buruk pasti bukan karena Jokowi.

Megawati sudah menyadari kecenderungan itu sejak lama. Itu sebabnya ia mengatakan Jokowi adalah “petugas partai”. Megawati di sini tidak bermaksud menghina Presiden, ia hanya ingin menekankan bahwa Jokowi mewakili kebijakan dan ideologi partainya. Kita tidak lupa Megawati pernah memvisualisasikan “petugas partai” itu dengan memperlihatkan Jokowi duduk menghadap dirinya dalam sebuah setting seperti “warga menghadap lurah”. Sekali lagi, saya tidak melihat Megawati sedang merendahkan kedudukan seorang presiden. Ia bermaksud mengingatkan keterikatan Jokowi dengan partainya.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *