Akhir Kepemimpinan Jokowi: Mendarat Mulus Atau ‘Crash Landing’?

Akhir Kepemimpinan Jokowi
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Jika para seniman sudah melontarkan kritik pedas, wajar saja kalau aktivis dan politisi berada beberapa langkah di depan. Mungkin terilhami “Petisi 50”, kelompok kritis di masa Orde Baru, Rabu (6/12) lalu, sejumlah tokoh, dari aktivis, ulama hingga purnawirawan TNI, berkumpul di Gedung PDHI Sasonoworo, yang terletak di Kompleks Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. Mereka tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, berdialog serius dalam tema “Rakyat Menuntut Pemakzulan Presiden Jokowi”. Hasilnya, dalam pernyataan pers yang beredar sehari kemudian, mereka mendesak DPR dan MPR segera memakzulkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

Bagi Petisi 100, hingga 20 Juli—saat mereka menyampaikan tuntutan itu kepada DPR–ada sepuluh alasan pemakzulan Jokowi. Alasan yang bertambah seiring semakon banyaknya kasus dan dugaan ulah lancung yang terguar ke ruang publik. “Pemakzulan semakin relevan setelah adanya pelanggaran-pelanggaran konstitusional baru yang dilakukan Jokowi,”tulis mereka dalam siaran pers itu. Yang dimaksud Petisi 100 itu di antaranya nepotisme, yakni keterlibatan Jokowi sebagai ipar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, dalam pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia capres-cawapres. Anwar Usman diputuskan Majelis Kehormatan MK telah melanggar etika berat, sehingga diberhentikan sebagai Ketua MK.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Nepotisme Jokowi itu, kata Petisi 100, jelas melanggar Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara. “Dengan pelanggaran ini, Petisi 100 akan segera melaporkan tindak pidana yang telah dilakukan Jokowi, Anwar Usman dan Gibran,”ujar Petisi 100 dalam pernyataan mereka. Petisi 100 juga menyinggung pengakuan mantan Ketua Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, soal adanya intervensi Jokowi terhadap KPK. “Belum lagi dengan merevisi UU KPK untuk memperlemah KPK dengan diadakannya SP3 dan menjadikan lembaga rasuah itu berada di bawah Presiden.”

Beberapa tokoh yang hadir dalam pertemuan di Gedung PDHI Yogyakarta itu, antara lain, mantan Ketua MPR Amien Rais; mantan KASAD, Jenderal TNI Purn. Tyasno Sudarto; guru besar UGM, Zainal Arifin Mochtar; akademisi M. Taufiq; Ketua FUI DIY, Syukri Fadholi; Ketua BEM KM UGM, Gielbran Muhammad Noor, pedakwah Rizal Fadillah, serta aktivis dan pengamat ekonomi Marwan Batubara.

Persoalannya, meski sejarah Indonesia mencatat bahwa ada dua presiden—Bung Karno dan Pak Harto—jatuh karena desakan mayoritas rakyat, secara resmi keduanya diberhentikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Soekarno dilengserkan MPRS melalui Sidang Istimewa MPRS, yang mulai digelar 7 Maret 1967. “Di akhir sidang istimewa, MPRS memutuskan mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan sekaligus menetapkan Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia,” tulis Kuncoro Hadi, dalam “Kronik ’65”.

Kini, mungkinkah DPR RI melakukan hak interpelasi, atau bahkan hak angket, sebagai langkah awal pemakzulan Jokowi oleh MPR? Pengamat politik dan para ahli hukum tata negara ternyata masih berbeda pendapat.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, menegaskan bahwa dalam kondisi saat ini semestinya DPR tak membiarkan kesan hanya diam berpangku tangan. Hamdan mendorong agar DPR bertindak dan menggunakan hak mereka untuk mengetahui kebenaran, terutama  isu yang dihembuskan Agus Raharjo langsung ke ruang publik itu. “Ditambah masalah putusan MK, DPR seharusnya gunakan hak konstitusional menanyakan ini kepada Presiden, atau gunakan hak angket. Apa betul ada intervensi Presiden atau hanya fitnah?” cuit Hamdan di akun Twitter @hamdanzoelva, baru-baru ini.

Pernyataan lebih keras datang dari pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani. Pengacara dan aktivis HAM itu mendesak DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Jokowi. Alasannya, Jokowi telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR Setya Novanto yang kini mendekam menebus dosa di penjara. Bagi Julius, tidak ada dasar hukum apa pun bagi Jokowi untuk memanggil eks Ketua KPK Agus Raharjo, bertanya soal kasus yang sedang ditangani KPK, apalagi marah.

“Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tetapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,”ujar Julius.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *