SGIER 2023 dan Substansi Ekonomi Syariah

SGIER 2023
Foto: Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University

Hajinews.co.id – State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) menjadi istilah yang sangat populer pasca debat cawapres beberapa waktu lalu. Meski penyebutan singkatan dengan SGIE saja relatif agak kurang lazim di dunia internasional, namun ternyata laporan yang dirilis oleh lembaga Dinar Standard yang bekerjasama dengan Salaam Gateway dan didukung oleh otoritas Dubai Economy and Tourism, mampu menarik perhatian publik secara masif.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Bagi para pegiat ekonomi syariah, ini adalah hal yang sangat positif dalam ruang perbincangan publik. Pada saat yang bersamaan, Dinar Standard telah meluncurkan edisi kesepuluh dari laporan ini, yaitu SGIER 2023. Sesuai dengan publikasi terbaru SGIER 2023, posisi Indonesia naik ke peringkat ketiga dari peringkat keempat pada publikasi sebelumnya.

Naiknya posisi Indonesia memberikan satu indikasi bahwa kerja keras seluruh pemangku kepentingan ekonomi dan keuangan syariah telah berhasil membawa penguatan pada posisi Indonesia. Pemeringkatan ini didasarkan pada satu alat ukur yang disebut dengan Global Islamic Economy Indicator atau GIEI, yang terdiri atas enam komponen utama, yaitu keuangan syariah, makanan halal, pariwisata ramah muslim, fashion Islami, media dan rekreasi Islami, serta farmasi dan kosmetika halal.

Masing-masing komponen ini memiliki dimensi yang akan dinilai, yaitu nilai keuangan (besaran nilai transaksi/pengeluaran konsumen di setiap sektor halal), tata kelola, tingkat kesadaran (awareness), dampak sosial, dan inovasi yang dilakukan di setiap sektor halal.

Kemudian selanjutnya dilakukan pembobotan pada masing-masing komponen dimana keuangan syariah dan industri makanan halal memiliki bobot terbesar, masing-masing sebesar 30 persen. Sementara sisanya 40 persen, dibagi rata di antara pariwisata ramah muslim, fashion Islami, media dan rekreasi Islami, dan farmasi dan kosmetika halal.

Cara perhitungannya adalah diawali dengan perhitungan indeks setiap sektor halal di setiap negara, lalu kemudian akan dihitung nilai indeks GIEI setiap negara. Hasil indeks setiap negara inilah yang kemudian diperbandingkan dan di rangking, sehingga akan terlihat perbandingan nilai antar negara.

Dalam konteks inilah, maka posisi Indonesia ada di peringkat ketiga setelah Malaysia dan Arab Saudi yang berada pada peringkat pertama dan kedua.
Namun demikian, ada hal substantif yang tidak diukur dalam GIEI ini, yaitu siapa yang memegang peranan penting dalam hal menjadi produsen halal.

Negara mana yang paling banyak menikmati kue perkembangan industri halal global ini? Apakah Malaysia yang memiliki nilai GIEI tertinggi, termasuk tertinggi di industri makanan halal ini otomatis menjadi produsen makanan halal terbesar di dunia?

Demikian pula apakah Indonesia yang berada di peringkat ketiga secara keseluruhan dan peringkat kedua untuk sektor makanan halal otomatis menjadi produsen makanan halal terbesar kedua di dunia?

Jika berbicara siapa yang menikmati kue, maka GIEI ini tidak memberikan jawabannya. Laporan SGIER ini hanya menyampaikan besaran kue setiap sektor halal di setiap negara. Jawaban siapa yang menikmati, bisa dilihat dari laporan-laporan yang lain, yang salah satunya adalah OIC Halal Economy Report.

Jika melihat OIC Halal Economy Report 2022, maka dapat dilihat bahwa untuk pemenuhan kebutuhan makanan halal dunia, sebagai contoh, ternyata 78 persennya disuplai dari negara-negara muslim minoritas. Sisanya, 22 persen disuplai dari negara-negara muslim anggota OKI. Artinya, tingginya peringkat Indonesia tidak otomatis menjadikan kita sebagai produsen makanan halal terbesar kedua di dunia. Justru Indonesia menjadi salah satu target pasar makanan halal dunia yang suplainya bisa darimana saja.

Laporan tersebut merilis bahwa tiga produsen makanan halal terbesar adalah India, Brazil dan Amerika Serikat. Di dalam OIC Halal Economy Report 2022 tersebut, dijelaskan posisi Indonesia masuk dalam 10 besar dengan kemampuan mensuplai lima persen kebutuhan makanan halal global. Adapun Malaysia, justru tidak masuk dalam 10 besar produsen makan halal terbesar di dunia.

Karena itu, satu hal yang perlu mendapat perhatian dari setiap paslon capres dan cawapres ini adalah bagaimana komitmen mereka dalam memajukan ekonomi dan keuangan syariah. State of Global Islamic Economy Report hanyalah alat bantu untuk mendeteksi perkembangan industri halal dunia, namun untuk urusan menjadi produsen, ini memerlukan langkah ekstra yang lebih sistematis.

Paling tidak, kita berharap para paslon ini dapat fokus mengembangkan pada empat hal yang sangat substantif dalam pembangunan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia agar manfaatnya untuk bangsa ini bisa optimal, terutama dari sisi pembukaan lapangan kerja, penyerapan pengangguran, dan penurunan ketimpangan dan kemiskinan.

Pertama, perlunya fokus pada upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen halal terbesar di dunia. Karena itu, harus digarap secara serius mulai dari hulu hingga hilirnya dalam satu ekosistem yang terintegrasi, termasuk bagaimana mendorong rantai pasok ekonomi halal agar bisa semakin kuat.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *