Menyelami Tipis-tipis Pikiran Fahri Hamzah (Tanggapan atas “Membongkar Klaim Suara Umat”)

Menyelami Tipis-tipis Pikiran Fahri Hamzah
Fahri Hamzah
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Ady Amar, Kolumnis

Hajinews.co.idFahri Hamzah seperti asyik ngelantur sekenanya. Seperti dikhususkan untuk Paslon 01: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan terkhusus lagi pada capres Anies. Tiada hari tanpa ngelantur dibuatnya. Meski ngelanturnya itu tidak sampai ia bisa disebut terjangkit gejala psikosis. Sebenarnya, sedikit pun saya tak berhasrat mengomentarinya. Meski banyak kawan mendorong agar ngelanturnya itu perlu juga disikapi.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Kamis (28 Desember) kemarin, seorang kawan mengirimkan tulisan Fahri, yang ditulis di fb-nya. Judulnya gagah, “Membongkar Klaim Suara Umat”. Saat membaca pikirannya, kepala dibuat menggeleng. Bukan geleng takjub, bukan pula terkejut. Tapi lebih pada keheranan. Bisa-bisanya seorang Fahri berubah sikap dengan tak tanggung-tanggung. Ia menjadi total berubah. Perubahan sikap, yang itu tentu bukanlah perkara mudah.

Membaca tulisannya, sambil terbayang betapa sulitnya Fahri bisa menuliskan pikiran sederhana, dan yang sebenarnya mudah dipatahkan. Tampak di sana-sini keraguan saat ia menuliskan pikirannya. Tapi terpaksa tetap ditulisnya, meski bertolak belakang dengan seorang Fahri yang dulu kita kenal. Jika lalu banyak orang tidak percaya melihat perubahan pilihan politik yang diambilnya, itu menjadi pantas.

Pula pun tak bisa membayangkan suasana psikologis yang boleh jadi dirasakan Fahri, yang bisa jadi ia pun merasa heran bisa memilih jalan berkebalikan. Jalan yang tak ada di pikirannya beberapa tahun lalu, terlebih saat berjuang bersama PKS di parlemen, di mana Fahri lantang menyuarakan suara umat. Gelegar suaranya saat itu selalu dinanti umat, dan kita masih mengingat satu per satu sikap politiknya yang jelas menolak politik bersandar pada nepotisme. Hari-hari ini sikapnya berubah, justru menjadi pendukung politik dinasti.

Fahri Hamzah memang telah berubah, ia memainkan peran berkebalikan dengan peran yang pernah dimainkannya. Dari peran membela umat menjadi pembela rezim dengan segala pernak-perniknya. Hilang sudah kegarangannya mengkritisi rezim, bersamaan saat ia dan kawan-kawannya, Anis Matta di antaranya, mendirikan partai Gelombang Rakyat (Gelora).

Mari kita sedikit mengulik tulisan Fahri, yang seperti sikap bimbang namun terpaksa mesti disampaikan sebagai argumen keberatan klaim atas monopoli suara umat. Sikap berkeberatan, meski ia ragu karena ia paham benar, itu bagian dari demokrasi yang tak mungkin dihalanginya, saat para ulama memutuskan lewat Ijtima’ Ulama, memilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN).

Begitu pula saat Ustadz Abdul Shomad (UAS) yang secara resmi menyatakan memilih AMIN. Dalam kebimbangannya ia menyatakan, itu hak demokrasi seseorang atau kelompok dalam menyuarakan aspirasinya. Tapi tetap saja dalam tulisannya tersirat ia utarakan keberatannya. Lucu juga sikap inkonsistensi dalam tulisannya itu, utamanya saat ia tak bersikap yang sama saat Habib Lutfi bin Yahya berdiri di barisan Paslon 02: Prabowo-Gibran. Fahri dan Partai Gelora memang memilih sebagai pendukung Prabowo-Gibran.

Fahri membungkus ketidaksukaannya pada para ulama yang mendukung Anies-Muhaimin (Paslon 01), yang diumumkan secara demonstratif. Seperti yang dilakukan Ijtima’ Ulama, dan UAS. Ketidaksukaan Fahri ini terbilang aneh, atau boleh jika disebut menggelikan. Memangnya kenapa jika mesti diumumkan. Itu sekadar cara yang dipilih, mau terang-terangan atau memilih dengan diam-diam.

Tersirat pula keberatannya atas klaim memakai nama Ijtima’ Ulama, yang itu pun disampaikan dengan sangat berhati-hati, dan dibalut dengan nada tanya, Entah sesiapa ulama yang ikut dalam Ijtima’ Ulama itu? Belum terdengar dukungan dari Ustadz Adi Hidayat dan Aa Gym… Kita digiring seolah jika tidak ada 2 nama ustadz populer itu, maka klaim Ijtima’ Ulama menjadi patut diragukan.

Fahri juga membandingkan “ribut-ribut” ulama yang secara demonstratif mengumumkan pemihakannya pada Anies-Muhaimin, itu dengan Gus Miftah, yang menurutnya tak kalah populer dengan ustadz yang disebutnya tadi. Tanyanya dengan aneh, Entahlah apakah Gus Miftah bisa digolongkan sebagai ustadz? Tambahnya dengan menyimpulkan, meski ada di kalangan umat tertentu tidak menganggapnya sebagai ustadz. Fahri yang berangkat dari aktivis dakwah kampus mendadak keluh otak, tidak paham kriteria siapa yang layak disebut ustadz. Kalau menurutnya Gus Miftah itu ustadz, ya ustadz-lah ia. Tak ada yang berkeberatan.

Fahri sampai perlu memuji sikap Gus Miftah, yang katanya memang sejak lama dikenal sebagai pendukung Jokowi, dan kali ini mendukung Prabowo. Menurutnya, dukungan yang tak menuai kontroversi, tak pakai pengumuman seperti ustadz-ustadz yang memilih mendukung Anies-Muhaimin. Kontroversi versi Fahri tadi tentu lebih pada pernyataan politis akan ketidaksukaannya saja pada para ustadz populer yang disebutnya tadi, yang itu lebih karena pemihakan pada paslon rivalnya.

Tapi buru-buru Fahri mengoreksi pikiran yang dibangunnya itu dengan narasi susulan, Sah-sah saja para ustadz populer tadi jika mesti harus mengumumkan secara terbuka, itu hak politik mereka yang dijamin negara dan agama–mungkin maksudnya dijamin undang-undang. Menyertakan agama di sana, karena Fahri ingin pakai dalil ijtihad memilih dalam agama, bahwa salah memilih saja masih dapat satu pahala. Fahri tanpa sadar tengah membuat tameng buat dirinya, jika ijtihad pilihannya dan Partai Gelora salah dalam memilih Prabowo-Gibran, ia masih dapat satu pahala. Lucu juga memaknai jalan pikirannya.

Tapi lagi-lagi Fahri masih ngengkel, dan itu khas sikapnya. Ia sisipkan ketidaksetujuannya, jika ulama mesti memihak dengan cara demonstratif. Tentu yang dimaksudkannya itu ulama yang memihak Anies-Muhaimin. Untuk menutupi ketidaksetujuannya ia sampai perlu buat narasi bijak, belajar dari pilpres sebelumnya mestinya ustadz populer itu berpikir 7 kali lipat untuk menyatakan dukungan secara terbuka, seperti kesalahan yang pernah dibuat dua pilpres sebelumnya. Katanya, luka dalam pilpres yang lalu belum sembuh betul.

Tentu argumen yang dibangun Fahri, itu mengada-ada. Luka pilpres yang lalu jika dirasanya masih ada, itu sama sekali tidak ada korelasi dengan dukungan ulama. Tapi luka itu, sekali lagi meminjam jalan pikiran Fahri, memang diciptakan oleh rezim menstigma mana ulama istana, dan mana ulama umat. Menarik persoalan “luka” itu pada dukungan ulama pada pilpres yang lalu, itu playing victim yang coba dimainkan Fahri.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *