Menohok! Jokowi Larang Kampanye Pakai Fasilitas Negara, Sudirman Said: Omong Kosong

banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id – Tim Pemenangan Nasional (Timnas AMIN) meragukan Jokowi tak menggunakan fasilitas negara dalam dukung- mendukung Paslon nomor urut 02.

Excecutive Co-captain, Sudirman Said bahkan menyebutnya sebagai omong kosong jika Presiden maupun menteri yang tak menggunakan fasilitas negara dalam Pemilu 2024.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Sudirman Said mengatakan hal tersebut lantaran apa yang disampaikan oleh Jokowi bahwa presiden maupun menteri punya hak kampanye dan memihak paslon tertentu dalam Pilpres.

“Dikatakan boleh berkampanye asalkan tidak menggunakan fasilitas negara, tapi sebagai pejabat negara, saya pernah jadi menteri, pernah enggak saya lepas dari fasilitas negara? Sulit kan?” kata Sudirman, Kamis (25/1/2024).

Sudirman melanjutkan bahwa sekedar hanya menggunakan mobil dinas saja, sudah masuk ke dalam menggunakan fasilitas negara.

Apalagi jika hal tersebut bertujuan untuk ke lokasi kampanye.

“Ke mana-mana dengan mobil dinas, tinggal di rumah dinas. Rombongan ke luar kota diurus oleh dana negara. Itu baru menteri tuh, bagaimana dengan presiden?” ucapnya.

Belum lagi biaya pengamanan presiden hal tersebut juga termasuk dana negara, ditambah lagi penginapan dan fasilitas penunjang lainnya.

“Jadi, dari segi aspek bahwa itu tidak menggunakan fasilitas negara, rasanya sulit sekali untuk dilaksanakan,” lanjutnya.

Diketahui, Jokowi membuktikan ucapannya untuk cawe-cawe dalam Pemilu 2024, hal tersebut dinyatakan secara gamblang bahwa dirinya boleh kampanye dan berpihak dalam Pilpres 2024

Upaya mendukung kontestan Pilpres tersebut disampaikan di depan salah satu calon presiden (capres), Prabowo Subianto yang tengah mendampingi Jokowi sebagai Menteri Pertahanan (Menhan).

“Presiden itu boleh kampanye, presiden itu boleh memihak,” kata Jokowi di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (24/1).

“Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara, boleh,” jelas dia.

Komentar Jokowi soal Presiden boleh berkampanye dan berpihak pada salah satu capres menuai kritik dari kalangan akademisi.

Presiden Joko Widodo dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Hal tersebut disampaikan oleh Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, kemarin.

Ubedilah mengingatkan UU Pemilu mengamanatkan beberapa ketentuan yang menekankan perlunya netralitas presiden.

Misalnya Pasal 48 ayat (1) huruf b UU menetapkan bahwa KPU harus melaporkan pelaksanaan seluruh tahapan pemilu dan tugas-tugas lainnya kepada DPR dan Presiden.

“Artinya posisi struktural itu (KPU lapor ke Presiden) menunjukan bahwa Presiden bukan menjadi bagian yang terlibat dalam proses kontestasi elektoral, agar tidak ada abuse of power dalam proses pemilihan umum,” kata Ubedilah kepada Kompas.com, Rabu (24/1/2024).

Lebih lanjut, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tersebut juga mengatur bahwa presiden memiliki peran dalam membentuk tim seleksi untuk menetapkan calon anggota KPU yang akan diajukan kepada DPR.

Posisi menetapkan tim seleksi KPU itu membuat Presiden berkewajiban untuk netral dalam seluruh proses pemilu.

“Sangat berbahaya jika posisi Presiden tidak netral sejak menyusun tim seleksi anggota KPU maka seluruh anggota KPU dimungkinkan adalah orangnya Presiden.

Ini pintu kecurangan sistemik. Pada titik inilah Presiden berkewajiban netral,” jelas Ubedilah.

Presiden wajib netral

Lebih jauh, Ubedilah menerangkan mengapa Presiden wajib untuk netral. Sebab, menurut UUD 1945, presiden disebut bukan sekadar jabatan politik, melainkan melekat pada dirinya sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lanjut Ubedilah, presiden membawahi jutaan aparat penegak hukum baik polisi, tentara hingga aparatur sipil negara.

Presiden, jelas Ubedilah, ditetapkan oleh UU harus netral. Ia menilai, jika presiden tidak netral maka akan muncul persoalan turunan pada bawahannya.

“Cara berpikir Presiden Jokowi yang mengatakan boleh kampanye itu cara berpikir yang menempatkan Presiden semata-mata sebagai jabatan politik.

Dia sangat keliru dan bahkan bisa melanggar UUD 1945,” tutur Ubedilah.

“Mencampuradukkan antara jabatan politis, kepala negara dan kepala pemerintahan itu tidak dapat dibenarkan, itu bisa masuk kategori penyalahgunaan wewenang, abuse of power,” tambah dia.

Dia menjelaskan, dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sangat jelas diatur agar tidak mencampuradukkan kewenangan.

Jokowi langgar Undang-Undang

“Mencampuradukkan wewenang itu sama saja bekerja di luar ruang lingkup bidang atau materi wewenang yang diberikan, dan/atau bertentangan dengan tujuan yang diamanahkan oleh wewenang tersebut.

Karenanya Presiden Jokowi sesungguhnya telah nyata-nyata melanggar undang-undang,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi mengatakan, seorang presiden boleh berkampanye dalam pemilihan umum (pemilu).

Selain itu, menurut Jokowi, seorang presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi.

Hal itu disampaikan Jokowi saat ditanya perihal menteri-menteri yang berasal dari bidang nonpolitik malah aktif berkampanye pada saat ini. Jokowi mengatakan, aktivitas yang dilakukan menteri-menteri dari bidang nonpolitik itu merupakan hak demokrasi.

“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja,” ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu.

“Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak.

Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye),” katanya.

Presiden harus cabut pernyataan

Secara terpisah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pernyataan Jokowi soal bolehnya seorang presiden memihak terhadap calon tertentu dalam pemilu sebagai pernyataan yang sangat dangkal.

“Ini berpotensi akan menjadi pembenaran bagi presiden sendiri, menteri, dan seluruh pejabat yang ada di bawahnya, untuk aktif berkampanye dan menunjukkan keberpihakan di dalam Pemilu 2024,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, pada Rabu (24/1/2024).

“Apalagi Presiden Jokowi jelas punya konflik kepentingan langsung dengan pemenangan Pemilu 2024, sebab anak kandungnya, Gibran Rakabuming Raka adalah calon wakil presiden nomor urut 2, mendampingi Prabowo Subianto,” jelasnya.

Perludem menegaskan, netralitas aparatur negara merupakan salah satu kunci mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis.

Jokowi dianggap hanya membaca Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara sepotong-sepotong, yakni hanya pada pasal 281, 299, dan 300, tanpa melihat konstruksi hukum kepemiluan secara utuh.

Pasal-pasal itu mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memang berhak berkampanye dengan tetap memperhatikan tugas-tugas pemerintahan, asal menjalani cuti di luar tanggungan negara serta tidak menggunakan fasilitas jabatan.

Padahal, pada pasal 282, undang-undang yang sama melarang “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.

Pasal 283, UU Pemilu juga melarang para pejabat negara hingga ASN untuk melakukan kegiatan yang berpihak pada peserta pemilu tertentu, baik sebelum, saat, dan setelah kampanye.

“Dalam konteks ini, Presiden Jokowi dan seluruh menterinya jelas adalah pejabat negara.

Sehingga ada batasan bagi presiden dan pejabat negara lain, termasuk menteri untuk tidak melakukan tindakan atau membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu tertentu, apalagi dilakukan di dalam masa kampanye,” terang Khoirunnisa.

“Dalam konteks ini, jika ada tindakan presiden, apapun itu bentuknya, jika dilakukan tidak dalam keadaan cuti di luar tanggungan negara, tetapi menguntungkan peserta pemilu tertentu, itu jelas adalah pelanggaran pemilu, termasuk juga tindakan menteri, yang melakukan tindakan tertentu yang menguntungkan peserta pemilu tertentu,” ungkapnya.

Oleh karena itu, Jokowi didesak menarik pernyataannya hari ini. “Pernyataan itu berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu,” kata Khoirunnisa.

Pernyataan Jokowi itu juga berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga didesak untuk secara tegas dan bertanggungjawab menyelesaikan dan menindak seluruh bentuk ketidaknetralan dan keberpihakan aparatur negara dan pejabat negara, yang secara terbuka menguntungkan peserta pemilu tertentu, dan menindak seluruh tindakan yang diduga memanfaatkan program dan tindakan pemerintah yang menguntungkan peserta pemilu tertentu.

“Kerangka hukum di dalam UU Pemilu dapat disimpulkan ingin memastikan semua pejabat negara yang punya akses terhadap program, anggaran, dan fasilitas negara untuk tidak menyalahgunakan jabatannya dengan menguntungkan peserta pemilu tertentu,” ujar Khoirunnisa.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *