Kenapa NU terseret ke Dalam “kubangan” Politik?

NU terseret ke Politik
NU bukan partai Politik
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Hajinews.co.id – Rumor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akan terlibat dalam kancah politik praktis untuk pasangan calon (Paslon) nomor urut 2 pada pemilihan presiden (Pilpres 2024), Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Aktivis NU dan tokoh menjadi geram. Pada dasarnya, hal ini dianggap bertentangan dengan khitah organisasi.

Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah NU (JNPK) mengakui bahwa politik adalah bagian dari tujuan NU sebagai jamiah. Artinya, persoalan politik tidak mungkin dan nirfaedah dipisahkan dari NU. Namun, hal ini harus digunakan untuk kebaikan yang lebih besar dan bukan untuk mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

“Dalam hal ini, NU harus menjaga kemandirian politik dan kemandirian ekonomi agar perkembangan dan inovasi di jamiah ini tidak tergantung pada uluran tangan penguasa,” kata penggagas JNPK NU, Abdul Ghafar Karim, dalam keterangannya, Kamis (25/1).

Ia melanjutkan, khitah, di mana NU bukanlah partai politik (parpol) maupun organisasi sayapnya (underbow), merupakan rujuk moral dan formal tindakan politik NU. Pun menjadi bagian dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.

“Karena bukan partai politik dan bukan underbow partai politik, maka NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres,” tegasnya. “Penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari Khitah NU.”

Menurut Ghafar, NU juga harus menghindari politik transaksional yang bersifat jangka pendek dan fokus pada politik moral agar memberi warna pada peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik.

Ia mengingatkan, peradaban dimulai dari penguatan moral yang dilandasi nilai ke-NU-an yang diwariskan para muassis, di mana NU menjadi penengah dalam konfil-konflik politik yang muncul di negeri ini dan berupaya sekuat tenaga tidak menjadi bagian dari konflik politik mana pun.

“Langkah-langkah politik NU harus didasarkan pada nilai-nilai keulamaan untuk diabdikan pada kepentingan umat. Dengan cara itu, NU bisa terus memainkan peran sebagai ‘bengkel kemanusiaan’ untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa,” jelasnya.

Baginya, NU pun harus menghindari langkah politik langsung dan lebih menggunakan parpol sebagai alat utama dalam mengelola kepentingan politik praktis. Karenanya, NU mesti mengupayakan perbaikan dan penegasan hubungannya dengan parpol yang menjadi saluran aspirasi nahdiyin.

Selanjutnya, JNPK NU mendorong agar seluruh jajaran nahdiyin mengevaluasi secara serius atas perilaku dan posisi organisasi saat ini di hadapan negara dan masyarakat, dalam konteks menjadi kekuataan civil society berbasis landasan moral ahlussunnah wal jamaah (aswaja) An-Nahdliyah.

“Untuk itu, diperlukan rekonstruksi keorganisasian NU yang sesuai dengan mandat Qonun Asasi dan AD/ART NU secara konsisten dan konsekuen sehingga jamiah NU bisa kembali menjadi gerakan kebangkitan para ulama sebagaimana terkandung dalam namanya,” ujar Ghafar.

Relasi NU-pemerintah

Terpisah, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Sukron Kamil, menyampaikan, NU memang dekat dengan kekuasan sejak era Presiden Sukarno hingga kini sekalipun sempat vakum pada zaman Orde Baru (Orba). Keakraban pemerintah dengan NU tampak dari adanya nahdiyin yang memimpin Kementerian Agama (Kemenag).

Ia menduga itu terjadi karena NU tidak mandiri secara ekonomi. Hal tersebut berbeda dengan Muhammadiyah, yang memiliki rumah sakit hingga lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai daerah.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *