Fenomena Pragmatisme Makro: Kulit Yang Dihempaskan

Kulit Yang Dihempaskan
Agus Wahid
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh Agus Wahid – Analis politik

Hajinews.co.id – Kacang lupa pada kulitnya. Itulah pepatah yang sudah demikian memasyarakat, puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Pepatah ini sangat tepat untuk melukiskan panorama politik nasional saat ini. Bagaimana tidak? Sejumlah aktor politik penentu negeri ini sedang mempertontonkan panorama sosial yang menggelikan, sekaligus sadis pada titik puncak.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Dalam kaitan itu kita bisa menelaah dari sejumlah aktor yang sarat dengan nuansa distruksi sekaligus sadisme sosial. Pertama dan utama adalah pelecehan frontal Jokowi kepada Megawati dan atau PDIP. Fakta politik bicara, tanpa restu dan atau campur tangan Megawati dan partai yang dipimpinnya, jelas: Jokowi bukanlah siapa-siapa, sejak melangkah ke Walikota Solo, hingga Gubernur DKI Jakarta dan Presiden RI. Memang, ada pendukung lain secara finansial: Hasyim Djojohadikusumo. Namun, kartu truf utama adalah political supporting Megawati dan PDIP. Bukan hanya rekomedasi, tapi basis massanya yang all out untuk menaiki tangga politik Jokowi.

Fakta politik bicara. Jokowi bukan hanya meninggalkan Partai Banteng dan Ketua Umumnya, tapi tampak melakukan perlawanan secara terencana dan frontal, terback up dengan berbagai instrumen kekuatannya: kekuatan pertahanan (TNI-POLRI) dan ASN. Perlawanan yang demikian berani menimbulkan pertanyaan, benarkah Jokowi manusia Jawa tulen? Data biologis menunjukkan, Jokowi memang China peranakan.

Jika kita analisis dari perspektif sosiologi, tidak semua China keturunan berperangai sesadis itu. Biodata politik menunjukkan, Jokowi memang putera Oey Hong Liong dan Sulami. Menurut data yang beredar, Oey seorang aktvis PKI di Boyolali. Dan ibunya yang hingga masih hidup adalah tokoh Gerwani. Maka, tidaklah heran, bebarapa waktu lalu Megawati menegaskan “Jokowi PKI”. Hal yang sama disampaikan juga oleh Ribka Ciptaning, anggota Fraksi PDIP DPR RI dan penulis buku “Aku Bangga Menjadi Anak PKI”.

Merenda analisis sosiologis dan ideologi yang dianut kedua orang tuanya, maka kita mendapatkan titik temu: sadisme Jokowi karena darah komunis yang mengalir dalam dirinya. Karakter ideologis komunis memang raja tega. Kejam. Sudah menjadi sejarah dunia. Jangankan terhadap orang lain yang beda hubungan biologis, sesama saudara sekandungnya pun tega membantainya. Hanya karena beda ideologi – seperti yang kita saksikan pada penculikan, pembantaian dan penyiksaan terhadap Jend. Siswondo Parman – seorang kakak (Sukirman), salah satu petinggi PKI dan pernah terlibat dalam pemberontakannya di Wonosobo, tega mengambil paksa adiknya yang cinta Tanah Air berhaluan Pancasila.

Membaca karakter komunis itu, maka kita dapat memahami, apalah artinya Megawati dan atau PDIP. Meski di Partai Banteng ini disinyalir banyak elemen komunis, namun bagi Jokowi tak akan puas jika tidak merebutnya. Gelagat untuk mengambil kepemimpinan PDIP bukanlah berita anyar. Namun, Megawati masih terlalu kuat untuk disingkrkan. Karenanya, selagi masih berkuasa sebagai RI-1, apapun dilakukan Jokowi. Tanpa risi apalagi introspeksi sejarah karir politiknya.

Lalu, bagaimana dengan Hasyim Asy`arie dan Yakut Cholil Qaumas? Sebagian besar publik meyakini, keduanya bukanlah komunis. Keduanya anasir NU. Sama-sama pernah menjabat sebagai Ketua GP Ansor. Yang perlu kita catat, mungkinkah Hasyim Asy`ari (HA) kader NU itu bisa menaiki tangga politik sebagai Ketua KPU Pusat tanpa endorsement PKB saat pemilihannya di DPR Senayan? Pertanyaan yang sama, mungkinkah Yaqut Cholil Qaumas (YCQ) bisa menjadi Menteri Agama tanpa tunjukan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar saat itu?

Jawabannya simple. Sulit bagi keduanya menggapai posisi politik puncak jika PKB tak campur tangan. Yang perlu kita renungkan, keduanya – secara terang-terangan – melawan Muhaimin. Seorang HA lebih mendengarkan dan tunduk pada kemauan rezim bromocorah ini. Bukan hanya tidak bisa terima kasih pada PKB, tapi justru berusaha menghajar suara pasangan calon (paslon) 01. Bukan hanya tak mampu menegakkan kejujuran dan keadilan, tapi justru membangun sketsa politik penggelombungan suara untuk paslon lain (02).

Apakah itu karakter NU yang sangat pragmatis? Banyak elemen menilai seperti itu. Namun, sangat disayangkan karakter pragmatis itu. Sebab, hal yang paling mendasar adalah campur tangan Muhaimin selaku Ketua Umum PKB dalam mengendorse HA tidaklah kecil nilainya. Itu campur tangan politik yang luar biasa. Tapi, begitu mudah dilupakan, bahkan kini berdiri menjadi pihak “pelawan” sejati. Tidak hanya melawan kepentingan PKB, NU dan seluruh elemen bangsa ini yang menjunjung tinggi prinsip kebenaran, tapi menjadi bagian strategis yang menopang kepentingan istana, tanpa memandang risiko bahwa negeri ini akan porak-poranda jika tetap memaksakan kehendak (02 harus menang).

Tak jauh beda dengan HA, YCQ juga kini menjadi “pelawan”. Tidak hanya terhadap PKB, tapi seluruh elemen bangsa ini yang tak sejalan dengan istana dihadapi dengan kewenangannya. Jauh sebelum pemilihan presiden (pilpres), dia menggunakan kewenangannya pada seluruh ASN Kementerian Agama sampai ke tingkat terbawah: harus pilih paslon 02. Data bicara, gerakan sistimatis ini berhasil mereduksi perolehan suara basis-basis NU seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah yang hengkang dari paslon 01. Memang, ada faktor penentunya: pengerahan “gentong babi” yang bernilai fantastik, mencapai Rp 496,8 trilyun, di samping polisisasi makan saing dan minum susu gratis. Menurut catatan sebuah lembaga survey, akibat politisasi klaim itu, sekitar 63,9% banyak suara pindah ke paslon 02.

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *