Fenomena Pragmatisme Makro: Kulit Yang Dihempaskan

Kulit Yang Dihempaskan
Agus Wahid
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Yang “maha” luar biasa adalah, kini persekongkolan YCQ dan kakaknya selaku Ketua Umum PBNU, mereka siap menggeser Muhaimin. Hal ini sudah terlihat sinyalnya pada pernyataan Jokowi yang siap berkoalisi dengan PKB, tapi bukan kepemipinan Muhaimin. Maka, dalam waktu dekat, ada kemungkian terjadi prahara dalam internal PKB. Skenario jahat itu pasti dilakukan.

Akankah warga besar PKB siap menghadang gerakan picik dan licik itu? Tak bisa diharapkan. Berangkat dari budaya pragmatisme yang cukup menginternalisasi (mendarah-daging) pada kaum NU, termasuk PKB, maka terdapat potensi besar: penggoyangan terhadap Muhaimin bukanlah fatamorgana, kecuali skenrio 02 gagal menuju istana dan Jokowi pun terlengser secara soft landing apalagi die hard. Dan mencermati dinamika politik teranyar, potensi pelengseran sacara die hard cukup besar.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Akhir kata, beberapa aktor politik negeri ini benar-benar tak lagi mengenal kulitnya. Jasa baik sebesar apapun dipandang sebagai debu. Dihempaskan. Tak berarti. Dan itu terjadi karena karakter budaya komunis yang telah merasukinya. Juga, budaya pragmatisme yang telah mandarah-daging. Itulah kacang yang lupa pada kulitnya. Biarlah. Karena, hukum alam (sunnatullah) akan bicara lain sesuai kodrat dan iradat-Nya. Allah Maha Digdaya. Tugas kita kini adalah bagaimana merapatkan barisa untuk menyambut kehendak Allah itu. Doa yes. Tapi, itu selemah-lemah iman. Tak elok dan tidak sepantasnya kita “memperbudak” Allah selagi tenaga, pikiran dan amunisi lainnya bisa digerakkan secara eksplosif. Kepada para patriot sejati, “Allahu ma`anaa, orang-orang yang terdzalimi sekian lama”.

Satu hal yang layak menjadi keterpanggilan secara jihadiyah, gerakan penghancuran secara sistimatis terhadap PDIP dan PKB sesungguhnya merupakan ikhtiar sistimatis bagaimana anak bangsa ini terpecah. Saling curiga antar anak bangsa. Bahkan, berpotensi perang saudara. Politik devide et empera yang pernah dihembuskan oleh seorang kolinialis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje menjadi senjata ampuh untuk menceraikan bangsa ini sekaligus untuk menguasainya. Dan komunis paling getol menggunakan strategi devide et empera ini. Inilah yang harus diwaspadai sekaligus menjadi kesadaran untuk melawan istana dan segenap hantunya. Then, how to fight them?

Kini, kita saksikan pendekatan politik: sebagian mengepung istana, DPR, KPU dan BWASLU. Diperlukan massa besar. Adakah stratetegi lain yang jauh lebih simple dan efektif? Ada. Kepung kediaman atau kantor sejumlah figur penentu yang menjadi aktor bromocorah selama ini, mulai dari anasir orang terdekat istana, penentu KPU dan BAWASLU, “penguasa” Mahkamah Konstitusi, para “penasehat” politik (surveyors bayaran) dan praktisi hukum (pengacara handal).

Dan satu lagi yang tampaknya tak terpikir: blokir jalan-jalan utama yang menjadi urat nadi ekonomi nasional. Dalam jangka dua atau tiga hari saja, ekonomi akan segera lumpuh total. Inflasi akan segera beranjak naik. Daya beli masyarakat pun melemah. Tanpa pengerahan massa puluhan ribu. Bisa mencegah potensi korban yang bergelimpangan. Dampak kontigion ekonomi itu akan menggrakkan revolusi sosial. Mirip dengan tragedi Mei 1998. Sekedar saran lepas lho…. Wallahu `alam.

Bekasi, 14 Februari 2024

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *