Kemenangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024: Politik Dagang Sapi dan Parpol Rasa Kartel

Kemenangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024
Kemenangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024
banner 678x960

banner 678x960

Daftar Donatur Palestina



Oleh: Hamzah Jamaludin – Dosen STISIP Widyapuri Mandiri

Hajinews.co.idPemilu 2024 menelurkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang dengan perolehan suara 58,6 persen. Namun, ada yang lebih menarik setelah ini. Kita akan melihat politik bagi-bagi ‘kue’ yang akan terjadi di kabinet.

Bacaan Lainnya
banner 678x960

banner 400x400

Politik ‘dagang sapi’ atau politik bagi-bagi ‘kue’ adalah hal yang sering terjadi setelah Pemilu. Tawar-menawar posisi strategis terjadi.

Saat ini, misalnya, Golkar secara tersirat mengutarakan keinginannya meminta jatah kursi 5 menteri. Selain itu, Demokrat juga meminta jatah menteri karena merasa sebagai partai yang memiliki sumbangsih besar memenangkan Prabowo-Gibran.

Annisa Pohan pasang badan usai AHY dihujat karena pindah koalisi.

Pemilu tidak dimaknai sebagai momentum untuk bertransformasi lebih jauh. Ada tanggung jawab yang lebih besar di pundak para aktor politik untuk mengilhami upaya menumbuhkan kesejahteraan masyarakat.

Apalagi, pascapemilu, ingar bingar politik tidak benar-benar mereda. Ketegangan terus dirawat dalam balutan sentimen. Konteks ini bisa kita baca dari buruknya upaya rekonsiliasi yang coba dibangun oleh para aktor politik.

Ruang publik masih dihinggapi sentimen. Upaya perbaikan narasi seharusnya menjadi agenda para partai politik dan aktornya untuk menciptakan ruang politik yang bisa memberikan pelajaran berharga.

Isu-isu besar pascapemilu menghiasi berbagai dinamika politik. Upaya menciptakan koalisi besar yang dipimpin oleh Jokowi dan langkah yang dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang mencoba bermanuver membangun koalisi besar untuk masa pemerintahannya kelak.

Namun, sinyal ini tentu dibaca sebagai pertanda alam yang justru dapat memberikan tawar-menawar kepentingan dengan para aktor partai untuk mengakomodasi kepentingan yang dianggap strategis.

Pasar gelap demokrasi

Pemilu 2024 menjadi catatan gelap yang perlu menjadi pelajaran bersama. Dinamika politik para elite akan ambisinya demi melanggengkan kekuasaan, ditandai dengan praktik culas.

Sebagai garda terdepan yang memberikan teladan bagi proses pendidikan politik, partai politik dan aktor politik seharusnya memberikan ruang dan proses dialektika yang mencerahkan, alih-alih bersama-sama membawa demokrasi ke ‘pasar gelap’.

Hal ini ditandai dengan koalisi parpol yang tidak berbasis pada kesamaan ideologi. Misalnya, PKS dan PKB bisa sama-sama bersatu demi mendukung paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Jika bukan karena urgensi kepentingan, tentu hal ini akan sangat mustahil terealisasi.

Selain itu, koalisi besar yang dibangun untuk mencalonkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menunjukan pragmatisme partai, alih-alih lebih memilih calon yang melalui proses merit system.

Dinamika politik di Indonesia kian terguncang dengan lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden demi tetap memperpanjang trah kepentingan keluarga Jokowi. Kondisi ini akan menciptakan praktik politik dinasti yang justru sangat membahayakan bagi sistem politik yang sehat.

Politik dinasti telah menjadi kegelisahan di Indonesia, terutama sejak otonomi daerah diimplementasikan pada awal dekade 2000-an dan pilkada langsung dilakukan pada 2005. Praktik politik dinasti semakin kuat mengakar, bahkan seolah sudah menjadi norma dalam setiap prosesi pemilu; baik nasional maupun lokal, di eksekutif ataupun legislatif (Mas’udi, 2024).

Kondisi ini memperparah kemunduran demokrasi di Indonesia dengan hadirnya praktik politik dinasti, akan menjadi catatan yang cukup kelam bahwa pemilu 2024 dibingkai oleh kepentingan keluarga Jokowi dengan membangun trah politiknya.

Paradoks

Bukan anomali, praktik jual beli kekuasaan niscaya akan timbul jika muncul dari berbagai kalangan parpol berorientasi kepentingan pragmatis. Di tengah krisis demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia, tentu praktik politik dagang sapi akan semakin memperburuk demokrasi yang ideal di Indonesia.

Praktik bagi-bagi ‘kue’ ini akan menopang tumbuhnya kekuasaan elite yang memanifestasikan kepentingan pragmatis. Dampaknya, segala kebijakan yang terfomulasikan akan berbasis pada kepentingan populis.

Alih-alih mementingkan kesejahteraan publik, parpol tidak ubahnya menjadi semacam kartel.

Menurut Bax (1976), fenomena pull-string and confession yang dilakukan oleh pemimpin atau aktor politik akan menyerap berbagai kepentingan publik yang dibangun dengan praktik patron-client. Sehingga, hal ini akan mengupayakan berbagai kepentingan demi jabatan yang strategis diraihnya.

Memang, pasca-pemilu, dibutuhkan suasana yang sejuk dengan melakukan rekonsiliasi. Namun, yang paling penting dibutuhkan adalah penyimbang dalam setiap rezim yang berkuasa.

Tanpa check and balances, ketidakseimbangan akan terjadi. Bisa saja pemimpin yang hadir dari proses demokrasi menjadi otoriter.

Oleh karena itu, praktik politik bagi ‘kue’ ini secara tidak langsung ingin menggaransi dukungan yang mutlak atas kepemimpinannya Prabowo-Gibran nanti.

Pada akhirnya, pemilu bukan menjadi arah pembaruan dan harapan bagi terciptanya kebijakan publik yang menguntungkan rakyat. Pemilu menjadi praktik politik ‘dagang sapi’ para aktor politik demi memuaskan hasrat politiknya melalui kekuasaan.

Sumber: pikiranrakyat

banner 800x800

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *